![]() |
RTS.Center.Com – OPINI – Niccolo Machiavelli, seorang filsuf dan politikus Italia, dalam karyanya yang cukup terkenal “Il Principe” (Sang Pangeran) berbicara secara mendalam soal kekuasaan. Ia mengulas dengan menarik cara-cara yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin untuk mendapatkan, memperbesar serta mempertahankan kekuasaan. Baginya tujuan dari kekuasaan adalah kekuasaan itu sendiri. Karena itu menurut Machiavelli, seorang penguasa sudah seharusnya dan selayaknya menggunakan sifat manusia dan sifat binatang. Sifat manusia dan binatang tersebut harus digunakan berbarengan. Menggunakan salah satu cara berkuasa tanpa cara lainnya tidak akan berhasil. Ini bisa diterjemahkan dalam sikap dan tingkah laku seorang penguasa seperti menyingkirkan orang-orang yang berpotensial menjadi saingannya, tidak perlu mematuhi segala perjanjian dan peraturan yang ada karena dianggap sebagai faktor penghalang, dan sebagainya. Bahkan bagi Machiavelli sendiri, agama, moralitas dan semua kebijakanlah yang seharusnya menjadi alat atau instrumen untuk mendapatkan, memperbesar serta mempertahankan kekuasaan.
Machiavelli meninggal dalam usia yang bisa dibilang masih muda, ketika usianya memasuki 58 tahun. Namun kematianya tidak dikutsertakan dengan kematian ide-ide menantang dan kontrovesialnya. Kita bisa katakan bahwa idenya terus dikembangbiakan oleh beberapa pemimpin dunia antara lain Adolf Hitler (1889-1945), Benito Mussolini (1883-1945), Joseph Stalin (1879-1953), dan lainnya. Ketiga tokoh yang disebutkan ini semua kita pasti mengenal dengan baik kisah kepemimpinan mereka. Mereka sangat kuat dalam berkuasa dan bahkan “diktatoris”. Pada masa keemasan mereka rakyat tidak berani menyuarakan tentang keadilan apalagi mengkritik gaya kepimpinan mereka, sebab mereka mempunyai kuasa untuk membunuh atau membiarkan orang itu tetap hidup. Gaya kepemimpinan mereka membuat mereka menjadi sosok yang ditakuti bukan dicintai. Saya merasa tertarik untuk mengulas lebih lanjut bagian terkahir ini. Karena ada kekuatiran munculnya “Hitler”, “Mussolini” dan “Stalin” baru dalam sebuah gaya kepemimpinan saat ini.
Kita melompat sebentar untuk menyimak dan membaca realitas politik kita saat ini. Ada sukacita. Ada harapan. Tapi ada yang lebih dominan yakni situasi kepemimpinan politik yang sangat memprihatinkan. Mudah untuk mengidentifikasinya: Rakyat ditipu: janji manis saat kampanye yang dengan mudah diingkari, retorika dengan polesan kata-kata indah untuk menutupi banyak kekurangan dan kebusukan, bangunan dinasti politik yang menjamur, gaya kepemimpinan “Boss” yang tidak hanya berpangku tangan tapi juga kakinya menyaksikan kesusahan, kelaparan, penderitaan rakyatnya, dan tidak pernah turun dari zona nyaman untuk bersama rakyatnya menderita dan mencari jalan keluar. Kesejahteraan rakyat dinomorduakan dan menomor satukan kebutuhan pribadi atau golongannya. Monster pengganggu negara (Provinsi, Kabupaten, Kecamatan dan Desa) yang masih bertahan hidup sampai sekarang adalah korupsi dan dua saudara kembarnya: kolusi dan nepotisme. Ketiga monster bersaudara ini menjadi momok yang paling menakutkan di bumi nusantara ini. Data Operasi Tangkap Tangan KPK menjadi acuan kita untuk bisa mengatakan bahwa banyak pemimpin yang hanya berdiam ketika melihat praktek busuk ini dan ada yang mendukung pencuri-pencuri uang rakyat itu berkeliaran, atau bahkan mereka sendiri menjadi aktor utama yang bermain dalam praktek memuakkan ini. Saya merasa bahwa seorang pemimpin entah itu Presiden, Gubernur, Bupati dan lainnya harus punya moralitas politik yang terorientasi pada kesejahtraan rakyat. Seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak ingin namanya terkenal, tidak pernah takut akan hukuman jika ingin memperjuangkan keadilan dan kesejateraan rakyat dan tidak pernah berhenti untuk membawa inovasi kepada rakyatnya menuju kesejateraan. Seorang pemimpin harus berpegang pada prinsip bonum populi suprema lex (kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi).
Setelah kita meloncat sejenak ke situasi praktis-realistis, saya mengajak kita kembali pada gagasan politik Machiavelli. Pada bagian lain tulisannya Machiavelli mengusulkan cara-cara yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin untuk mendapatkan, memperbesar serta mempertahankan kekuasaan. Pertama, soal relasi resiprokal agama dan negara. Seorang penguasa seharusnya menjadikan agama sebagai alat atau instrumen kekuasaan. Bagi Machiavelli, agama memiliki nilai pragmatis dan kepentingan politik praktis untuk mengintegrasikan negara, membina loyalitas, kepatuhan serta ketundukan rakyat terhadap otoritas penguasa. Dalam tulisan saya sebelumnya, sempat ditampilkan 2 praktek ekstrim berbahaya dalam relasi agama-negara: yakni, ekstrim: “mengagamakan” negara. Usaha ini pertama-tama ingin memperlihatkan penggunaan norma-norma agama di dalam kehidupan bernegara. Usaha ini akan kacau dan bias ke segala hal jika norma agama mayoritas yang dipakai, maka agama yang minoritas merasa tidak nyaman. Orang jatuh ke dalam esklusivisme beragama atau hidup dalam intimidasi atau tekanan agama lain. Dan, ekstrim “politisasi” agama. Agama dijadikan tameng, alat kampanye dan kedok untuk urusan politik demi menjaring umat sebanyak-banyaknya. Ada mobilisasi entah itu mobilisasi dalam narasi pikiran dan mobilisasi aksi terhadap umat untuk kepentingan politik. Kedua, relasi antara politik dengan moralitas. Dalam konteks ini, seorang pemimpin, sudah seharusnya bisa membentuk opini umum yang bisa mengendalikan tingkahlaku warganya. Oleh karena itu, untuk memperkokoh kekuasaan, seorang pemimpin/penguasa harus dapat memobilisasi segala nafsu rendah mereka yang ingin dikuasainya demi mencapai tujuannya tersebut. Dalam hal ini, ia mengibaratkan seorang pemimpin bermain/berwatakkan sebagai manusia maupun binatang buas. Untuk mencapai tujuannya, seorang penguasa tidak harus pertimbangan-pertimbangan moral. Tapi apabila kondisi mendesak guna menjaga stabilitas hegemoninya, seorang pemimpin/penguasa bersikap amoral. Ketiga, relasi pasukan dan negara. Fondasi yang paling utama dari semua negara adalah undang-undang yang baik dan pasukan yang tangguh. Tentang pasukan Machiavelli menambahkan lagi, pasukan yang tangguh haruslah pasukan sendiri. Bukan pasukan bayaran ataupun pinjaman. Ide ini tentu punya sisi positif dan negatifnya. Positifnya bahwa seorang pemimpin akan sangat terbantu dengan orang-orang yang sudah dia kenal, se-visi dan se-misi dengannya atau orang-orang yang punya chemistry yang sama dengan dia.
Negatifnya bisa saja terjadi bahwa terciptanya “dinasti tim sukses” atau “dinasti familaris” dalam tata kelola birokrasi. Akan hal ini saya berusaha menerjemahkan ide Machiavelli ini dalam situasi politik kita sekarang dengan mengangkat sebuah contoh kasuistik yang tentu bisa kita perdebatkan bersama. Misalkan jika ada seseorang yang memenangkan PEMILU atau PILKADA, sudah sangat jelas dan pasti ia akan membawa semua gerombolan pasukan atau “geng” pendukungnya masuk dalam tata birokrasi pemerintahan atau tugas penting lainnya. Atau masih dalam alur situasi yang sama berimbas juga pada aparatur sipil negara (ASN) kita yang seolah terkunci mulut mereka untuk bersuara akan hak politiknya, apalagi diantara para kandidator ada juga sang incumbent. Mereka seolah menjadi “suara yang tak bersuara” (voice of the voiceless) tanpa kejelasan identitas. Ada “ketakutan dan kebingungan politis”. Hemat saya makna pasukan sendiri disini memang harus loyal pada pemimpinnya tapi ia juga harus menjadi pasukan yang independen dan bebas dalam pilihan dan hak politiknya. Sekali lagi ini hanya contoh yang bisa diperdebatkan tapi lebih baik dan bijak direnungkan.
Menutup ulasan yang kayak sayuran rumpu-rampe ini, ajakan untuk kita setelah dibantu dengan uraian singkat di atas dan pengalaman personal kita dalam memimpin atau dipimpin atau calom pemimpin, untuk mendengungkan dalam bathin kita akan pertanyaan seperti judul diatas: Seorang pemimpin: “Ditakuti atau dicintai”? Nicollo Machavelli kembali hadir menjernihkan refleksi kita dengan mengatakan: “Seorang pemimpin jika tidak ditakuti dan dicintai maka ia harus berusaha agar memilki satu diantara kedua hal tersebut, jika keduanya tidak ia miliki maka ia harus memilih ditakuti daripada dicintai”. Saya berbeda dengan Machiavelli. Saya memilih untuk dicintai, jika tidak punya keduanya. Silahkan tentukan pilihanmu.
Salam damai Natal
Roma-Città Eterna, 21 Desember 2019
Doddy Sasi, Cmf
![]() |
![]() |
![]() |
29 October 2021
456, 532, 4.845, 4.313: ANGKA PENTING SELEKSI CASN MALAKA Author : Roy Tei Seran Center |
![]() |
![]() |
20 April 2021
Gagasan Pemikiran PDI Perjuangan NTT; Tata Kelola Pasca Bencana Author : Roy Tei Seran Center |
![]() |
16 March 2021
Kongregasi Vokasionis Memanggil: Lomba Artikel dan Puisi Author : Roy Tei Seran Center |