“Populares homines discordant propter inequlitatem possesionis: generosi Autem proper inequlitatem honoris” (Rakyat berselisih dengan alasan ketidakadilan dalam hal memiliki; tetapi kaum terkemuka dalam hal ketidaksamaan kehormatan).
– Aristoteles, Polit. Lib., 3.
Saya memulai refleksi saya dengan kutipan di atas, yang setidaknya menjadi kegelisahan saya, menyaksikan dan mengalami langsung kehidupan sosial politik dewasa ini, yang kelihatannya tidak begitu berpihak pada kaum marjinal. Pertanyaan mendasar pertama, mengapa ketidakadilan masih selalu menghantui seluruh kehidupan masyarakat dan lebih luas manusia? Saya berupaya juga mencari dan menemukan setitik jawaban yang mungkin tidak tertalu tepat dan terkesan subjektif tentang juga bagaimana kaum terkemuka seringkali luput perhatiannya terhadap persoalan keadilan dan lebih banyak sibuk dengan urusan kehormatan. Saya sendiri, seturut pengalaman yang boleh dikata representatif, tertutama bagi kaum marjinal, hidup dan berkenalan dengan beragam manusia, mendapati bahwa ada sebagaian orang yang hidupnya sungguh terpenuhi segala kebutuhannya, dan sebagian orang, dan cenderung lebih banyak, hidupnya tidak terpenuhi kebutuhannya, terutama kebutuhan dasarnya sebagai manusia, baik yang sifatnya primer, sekunnder dan bahkan tersier. Lebih jauh, saya mengamati bahwa ada segelintir orang merasa bahwa Kebebasannya seakan dipasung, bahkan yang paling hakikih, kebebasan berpendapat, oleh karena ketidakmampuan menggapai sumberdaya yang hanya mampu digapai, dikelolah dan dinikmati oleh sekelompok kecil orang yang empunya kemampuan, baik dari segi intelektualitas, modal dan pengaruh. Dari sini saya merasa bahwa saya bisa menjadi salah satu dari sekian banyak orang yang mampu untuk mempersempit bahkan menyambung jurang keterpisahan ini lewat cara-cara yang bermartabat, jalan Politik. Mengutip salah satu tokoh panutan saya, Hannah Arendt, manusia baru dapat dikatakan sebagai manusia utuh ketika ia sudah “bertindak”, atau dengan kata lain, ketika manusia “berpolitik”. Ia meninggalkan urusan privatnya dan masuk ke dalam ruang publik dan berbicara, mempengaruhi kebijakan-kebijakan public dengan cara-cara yang manusiawi. Menjadi wakil Bupati bagi saya merupakan suatu panggilan, untuk keluar dari zona nyaman ranah privat dan masuk ke dalam suasana carut-marut ranah publik. Demikian tag line mencintai dan melayani menjadi semboyang pribadi yang masih manusia ini.
Kedua, tentu banyak orang, khususnya masyarakat Malaka bertanya-tanya dan lebih cenderung meragukan, kalau tidak sampai pada kesadaran skeptik tentang kemunculan sosok RTS dalam perhelatan Politik lima tahunan di Kabupaten Malaka. Mengapa harus RTS yang dalam tanda petik “Millenials”, dengan usia relatif muda (30 tahun), berani mengambil keputusan untuk turut mengambil bagian dalam pesta demokrasi lima tahunan ini? Saya mencoba menjawab secara perlahan. Pertama, RTS tidak asing di dalam keluarga besar baik, Tei Seran, Tey Seran, Teiseran, Taolin, Laka, Ndolu, Adu, Koi, dan seluruh rumpun keluarga besar terkait yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Kedua, RTS lahir dan besar di Betun, Malaka Tengah yang merupakan Ibu Kota kabupaten Malaka dan menjadi barometer kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya, agama dan simbol pluralitas di Malaka yang cukup representatif. Kedua orang tua RTS adalah juga hidup dari dan untuk masyarakat, setidaknya di sekitar Malaka tengah, Malaka Barat, Malaka Timur, Kobalima dan Kobalima Timur, lewat karya Alm. Ayahanda Josef Tei Seran, sebagai tokoh masyarakat dan tokoh agama, dan Almh Ibunda Kiky Kosasih, sebagai juga tokoh masyarakat yang dikenal luas di masa mereka hidup dan berkarya. Ketiga, RTS menikahi seorang gadis Taolin yang juga merupakan nama yang cukup popular di berbagai kalangan masyarakat karena punya peran dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Keempat, menempa diri di Seminari, sejak Seminari menengah Sta. Maria imaculatta, Lalian, Atambua, hingga Seminari Tinggi TOR Lo’o Damian, Emaus, Seminari Tinggi St. Mikhael, Kupang, RTS yang hidup berasrama dengan ratusan orang calon Imam, menjadi pembelajaran khusus yang menguatkan dasar kehidupan RTS dalam bersosialisasi dan menempatkan keutamaan-keutamaan hidup lewat cara hidup seorang calon Imam yang bernuansa Filosofis-Teologis. Kelima, RTS melanjutkan studi di Ibu Kota Jakarta, di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, sambil menjadi pengajar di salah satu sekolah swasta, dan aktif sebagai pembawa acara di berbagai kegiatan kemasyarakatan NTT Diaspora, baik sebagai Wakil Ketua Departemen Kehutanan dan Lingkungan Hidup, menjadi promotor terbentuknya Ikatan Keluarga Malaka Jakarta, Menghimpun Alumni Seminari lalian (PELITA JAKARTA), baik Awam maupun Imam di Jakarta, serta bertemu dengan sosok-sosok pemikir, aktivis, pengusaha, Elit Politik nasional, maupun kaum marjinal di kolong-kolong jembatan di Jakarta, telah menumbuhkan semangat pejuang dalam diri, meski sebelumnya RTS juga turut bersama sesama Millenials memperjuangkan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Malaka, memisahkan diri dari Daerah Induk (Kabupaten belu), lewat SADANBETEMALAKA (Barisan Pendukung Pembentukan Kabupaten Malaka) di tahun 2012.
Ketiga, mengapa begitu banyak isu krusial yang terjadi di Kabupaten Malaka, Provinsi NTT? Malaka dan NTT hari-hari ini dilanda berbagai isu krusial yang cukup mencuri perhatian dari berbagai tokoh baik lokal maupun diaspora. Isu-isu seperti politik dinasti (https://radarntt.co/opini/2019/kpk-harus-telisik-sinyalemen-politik-dinasti-di-kabupaten-malaka/), kerusakan lingkungan (#savemangrovemalaka), ketidakbebasan berpendapat (lih. Grup Facebook Pilkada Malaka 2015, yang dipenuhi dengan akun-akun palsu dan hujat menghujat), ketiadaan kantor-kantor pelayanan publik, dikotomi masyarakat Fehan-Foho (dataran tinggi dan dataran rendah di Malaka), dikotomi barisan sakit hati dan barisan penjilat, bangkitnya Millenials yang ditandai dengan terpilihnya beberapa millenials sebagai anggota Dewan Perwakilan rakyat Kabupaten Malaka di 17 April 2019, serta keyakinan akan kehadiran RTS yang akan merajut kembali perpecahan yang terjadi di Malaka.
Melenkapi jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, RTS dengan berani mengambil keputusan maju sebagai salah satu bakal Calon untuk yang pertama dan terutama, kesejahteraan mayarakat Malaka yang Adil. Kedua, menghidupkan semboyan atau pepatah, atau nilai keutamaan warisan budaya Malaka “Sabete Saladai”, atau yang bisa diterjemahkan sebagai “gotong royong” ala Bapak Pendiri Bangsa, Mendiang Ir. Soekarno, yang menjadi spirit tegaknya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan lebih luas dan jauh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ketiga, sebagai millenials, RTS hiduo di masa “antara”, di mana RTS mengalami langsung perkembangan dunia dan manusia di era 4.0, tapi juga mengenal dengan baik para pendahulu, orang tua dan leluhur, yang menggerakan RTS untuk menghidupkan peran miliienials dalam setiap sendi kehidupan masyarakat Malaka. RTS hendak menjadi jawaban dari pertanyaan sederhana semisal, Lagu apa yang populer di zaman ini (Black Pink: DUDUDU) dan di zaman Old (Broery Marandika: Angin Malam). RTS berupaya terlibat dan masuk ke dalam politik praktis kehidupan masyarakat Malaka agar tidak ada lagi Foho Fehan, Zaman Old dan Zaman Now, barisan sakit hati dan Barisan Penjilat, tidak ada lagi isu KKN, Keadilan dan Kebenaran menjadi Keutamaan kehidupan manusia Malaka. RTS tetap menunggu hasil survey partai dan berbagai proses menjelang penetapan pasangan Calon Tetap yang akan mulai kelihatan di bulan januari-februari 2020 nanti, sambil mengajak seluruh Millenials untuk terus berjuang bersama mewujudkan gagasan zaman ini, sambil tidak lupa mensinkronisasikannya dengan zaman old, semisal RTS ditetapkan dengan salah satu calon Bupati, dari sekian banyak kandidat yang datang dari zaman Old. Lebih dan kurangnya hanya Tuhanlah kesempurnaan, saran, kritik yang bermartabat akan senantiasa mendapat apresiasi dari RTS yang Millenial ini. Jangan Lupa untuk terus saling Mencintai dan Melayani. Mengkritisi jangan sampai membenci dan Mencintai jangan sampai Menjilat.
“Veritas premitur non opprimitur”
(Kebenaran memang dapat ditekan, tetapi dia tidak dapat dihancurkan).