SHARE :

NTT, Bumi Harapan

Terbit : 16 February 2021 / Kategori : Opini / Komentar : 0 komentar / Author : Roy Tei Seran Center
NTT, Bumi Harapan

RTS.Center.Com – 16/02/2021 – Kupang – Opini – NTT (Nusa Tenggara Timur) terlanjur diberi stigma sebagai provinsi miskin. Praktis, tidak ada ingatan lain tentang NTT, selain kemiskinan. Stigma miskin dapat mendegradasi NTT ke situasi pesimisme berlebihan. Pesimisme menjadi racun; mungkin tidak mematikan tetapi menbuat sakit panjang. Perdebatan tentang kemiskinan ini membawa saya kepada pemikiran Aristoteles yang membagi tahap perkembangan masyarakat atas tiga, yaitu pertama, tahap anima vegetativa, yakni, masyarakat yang hidup sekedar mengalami pertumbuhan dan perkembangan, kedua, tahap anima sensitiva, dengan orientasi kemampuan dan kecerdasan, dan tahap ketiga anima intellectiva dengan kemampuan menghimpun persepsi-persepsi dalam konsepsi-konsepsi abstrak. Pada tahap apakah NTT saat ini?

Pendapat tentang kemiskinan di NTT membelah masyarakat atas tiga kelompok, yakni pertama, kelompok yang berpandangan positif, kedua, kelompok yang berpandangan sinis dan ketiga, kelompok yang berpandangan fatalistik. Konsep kemiskinan memang dapat diterangkan dari beragam perspektif, tetapi terdapat dua pandangan utama tentang kemiskinan. Satu, pandangan konservatif (naif) yang menyatakan kemiskinan disebabkan oleh kondisi orang miskin itu sendiri (misalnya karena malas, bodoh, diwariskan miskin) dan kedua, pandangan alternatif (struktural) yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari proses pemiskinan.

Secara statistik, ukuran garis kemiskinan oleh BPS mencakup kemampuan memperoleh 230 komiditi makanan dan 100 komoditi non makanan. Ukuran paling umum yakni $2 per kapita, per hari. Meski demikian, ukuran ini sering tidak relevan untuk Indonesia karena perbedaan kebutuhan. BPS menghitung berdasarkan kebutuhan kalori yakni 2100 kalori/kapita/hari, kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan.

Apakah NTT itu memang miskin? Saya berani mengajukan tulisan ini dalam rangka membentuk optimisme sebagai antitesa terhadap pesimisme fatal tentang NTT. Saya menemukan ragam pendapat tentang kemiskinan atau konsepsi tentang hal ini, antara lain dari pendapat para gubernur. Mantan Gubernur NTT, Piet A. Tallo (alm), mengatakan, NTT yang sudah miskin sumber daya ini, janganlah lagi dimiskinkan hatinya. Artinya beliau mengakui NTT miskin. Mantan Gubernur, Herman Musakabe, memperkenalkan spirit berpikir positif (positif thinking) dalam konsepnya tentang manusia kaya arti. Saya menduga beliau mengajak untuk melihat sisi lain, yang belum dilihat banyak orang. Mantan Gubernur Bapak Ben Mboi mengajak para pihak untuk tidak terpaku pada angka kemiskinan (statistik) tetapi lihatlah siapa-siapa yang miskin.

Pandangan lain disampaikan oleh Anton Bele, (Olah Ulah, 2006). Menurutnya, pelaksanaan otonomi daerah tidak boleh didasarkan atas cap kemiskinan daerah, yang membuat manusia-manusia di daerah itu merasa diri rendah dan hina, lalu memaksa manusia-manusia di daerah itu untuk tetap menengadah ke atas. Jika demikian, Provinsi NTT sangat potensial untuk dijadikan daerah otonom yang tidak otonom, karena dicap miskin, minus, tertinggal dan berbagai cap negatif lainnya. Kita harus melaksanakan otonomi daerah dengan jiwa besar atas dasar martabat manusia yang sejati. Rasanya, saya setuju dengan Anton Bele yang menghendaki kebangkitan spiritualitas, setidaknya perlawanan psikologis terhadap keterlanjuran umum, yang menyatakan NTT miskin. Mantan Gubernur Frans Lebu Raya memiliki sikap sendiri. Secara berulang-ulang, beliau menegaskan bahwa, label kemiskinan jangan terus dipromosikan. Situasi kemiskinan ini harus dilawan, disingkirkan, dengan melihat NTT secara lebih positif dari keunggulan-keunggulan yang dimiliki. Beliau membawa hawa baru, suatu iklim optimisme.

Optimisme artinya berpikir positif. Menurut KBBI, optimisme merupakan paham (keyakinan) atas segala sesuatu, dari segi yang baik dan menyenangkan, serta sikap selalu mempunyai harapan baik dalam segala hal. Ini memang tidak mudah kan? Hemat saya, optimisme harus dilatih, dia, tidak dapat datang dengan sendirinya. Kekuatan berpikir positif seturut Norman Vincent Peale, dimaksudkan untuk menekan satu situasi inferiority complex atau perasaan rendah diri yang berlebihan. Prinsip berpikir positif adalah satu proses berpikir yang sangat menyeluruh yang membangun gerak maju, dengan daya cipta atas unsur-unsur yang nyata dalam kehidupan manusia. (Berpikir Positif Setiap Hari, 2009).

Dalam suatu wartanya, wartawan Pos Kupang, Gerardus Manyela, menulis di kolom berjudul, Bukan Republik Mimpi (Pos Kupang, 21 Agustus 2010). Di sana digambarkan Gubernur dan Wagub NTT saat itu, Frans Lebu Raya dan Esthon Foenay, yang selalu memotivasi masyarakat, pimpinan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah), untuk bermimpi dan mewujudkan mimpi yang diimplementasi dalam program nyata, menyentuh kebutuhan masyarakat sehingga mampu mengantar masyarakat keluar dari jurang kemiskinan.

Sikap untuk mengakhiri stigma miskin tentu bukan sekedar menghibur diri dan mengelak dari kenyataan bahwa NTT masih miskin. Tetapi sebagai pemimpin, siapapun harus mampu memberi harapan (optimisme) kepada rakyat dan menunjukkan jalan, serta dengan cara apa harapan itu dapat diraih. Suatu ungkapan mengatakan, tiada satupun sejarah dunia bergejolak tanpa tokoh. Bukan konsep-konsep yang menggerakkan sejarah, tetapi orang-orang yang menggerakkan sejarah. Artinya gerak dan arah sejarah sepenuhnya ada dalam tangan manusia, secara khusus, dalam tangan seorang atau beberapa orang yang diberi kepercayaan menjadi pemimpin.

Kita ambil misal tentang peranan seorang Gubernur sebagai pemimpin daerah. Gubernur, seturut Anton Bele (Olah Ulah, 2006), berasal dari kata dasar Kubernao, dari bahasa Yunani yang artinya kemudi, lalu diambil alih bangsa Roma dengan bahasa Latin, yaitu: gubernacullum, artinya kemudi dan mengemudikan. Gubernur itu nahkoda, bertanggungjawab membawa kapal sampai ke dermaga tujuan. Karena itu, Gubernur haruslah orang yang optimistik,  berani dan trampil, agar kapal NTT sampai tujuannya. Pelayaran itu tidak selalu mudah dan mulus karena akan ada riak angin dan gelombang, belum lagi ancaman batu karang yang dapat membuat karam.

Tentang perlunya sikap optimistik, Winston Churchil, mantan Perdana Menteri Inggris, tahun 1940-1945, saat bergolaknya Perang Dunia Kedua, memberi sebuah nasehat bijak, demikian: seorang pesimistis, selalu melihat kesulitan dalam setiap peluang, sedangkan seorang optimistik, selalu melihat peluang dalam setiap kesulitan.

Kemiskinan itu ironi kemanusiaan. Setiap orang harus, atau akan berjuang untuk keluar dari jerat kemiskinan. Otto Graft Lambsdorff menyatakan bahwa, dampak kemiskinan adalah proses dehumanisasi, yang merendahkan martabat manusia. Kemiskinan menjadi faktor penting dalam kekerasan terhadap perempuan dan anak. Akan tetapi, menurut Lamsdorff, rakyat miskin tidak butuh bantuan. Mereka butuh akses dan regulasi agar memperoleh kesempatan dan perlindungan dari dominasi kelompok, maupun individu yang kuat, yang cenderung memetik buah dari usaha orang miskin. Orang miskin membutuhkan akses dan kontrol.

Mengambil semangat optimistik dan kemauan keras untuk berubah, maka NTT harus dibaca sebagai teks yang memuat keunggulan-keunggulan, tidak saja sebagai paparan pulau-pulau, laut, gunung, sungai, hutan, padang savana, jalan raya, tempat ibadah, kantor pemerintah, kota, pasar dan batas wilayah, tetapi kesatuan utuh antara hamparan kekayaan alam dan kekuatan manusianya. Suatu cara membaca NTT dengan mata bathin (positive thinker).

NTT tidak boleh dilihat sebagai satu arah melalui berbagai deretan angka statistika, karena akan dengan gampang melemahkan daya juang dan kreativitas. Angka kemiskinan, IPM (Index Pembangunan Manusia), status gizi, prosentase kelulusan UN, angka melek huruf, usia harapan hidup, angka kematian ibu, angka kematian bayi, dan lain-lain angka, yang tentu angka selalu kalah dengan daerah lainnya. Tetapi apakah, cermin harus dibelah gara-gara wajah buram ini ?

IPM (Indeks Pembangunan Manusia) NTT masih rendah, tetapi, ternyata NTT dapat melahirkan tokoh-tokoh berkaliber nasional, bahkan internasional. IPM dibentuk oleh tiga dimensi dasar yaitu umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan dan standar hidup layak. Artinya, ditengah gersang karang bebatuan, kering sabana, tandus ilalang, tumbuh mutiara-mutiara kebanggaan. Kita boleh bangga mmiliki sejumlah orang hebat, yang tidak dapat saya tulis semuanya, antara lain, Drs. Frans Seda, Bung Kanis Pari, Ben Mangrengsay, Chris Siner Keytimu, dr. Ben Mboi, Yacob Nua Wea, V.B. da Costa, Blasius Bapa, Dr. Sony Keraf, Cornelis Lay, Dr. Andreas Hugo Pareira, Melki Mekeng Bapa, Herman Musakabe, Herman Herry, Viktor B. Laiskodat, Josef Nai Soi, yang  berkiprah di tingkat nasional. Juga sejumlah tokoh muda seperti Viktus Murin, Janes Eduades Wawa, Cyrilus Kerong, Drs. Cypri Aoer, Jefry Riwu Kore, Ir. Cyrilus Kerong, Anton Doni, dan tokoh muda baru seperti Ansy Lema, Angelo Wake Kako dan dr. Aesyera. Tentu masih banyak nama lainnya.

Di bidang pendidikan ada Prof. W.Z. Johannes, I.H. Doko, Prof. Toby Mutis, Dr. Ignas Kleden, Prof. Goris Keraf, Paul Budi Kleden, P. Dr. Leo Kleden, SVD,  Dr. Kebamoto, Prof. Alo Liliweri, Dr. John Kotan, Prof. Umbu Datta, Prof. Dr. Fred Benu. Di bidang media massa menjadi lumbung SDM pers, seperti Valens Doy (alm), Peter A. Rohi, Gerson Poyk, Ansel da Lopez, Lorens Tato, Richard Bagun, Frans Meak Parera, Dhamyan Godho, Hermin Kleden, Janes Eduades Wawa, Primus Dorimulu, Hery S. Soba, Dion DB Putra, Jusak Riwu Rohi dan Valens Daki Soo.

Di bidang keagamaan dan kemasyarakatan NTT memiliki DR. A.A. Yewangoe, Drs. Stef Agus, Dr. Eben Nuban Timo dan sederet nama lainnya. Di bidang sosial, ada dr. Nafsiah Mboi, Pdt. Ica Frans, menyusul tokoh-tokoh muda seperti Veronika Ata, dr. Greg Mau Bili, dr. Henyo Kerong, Patris da Gomez (alm). Di bidang militer dan kepolisian Goris Mere dan Jhony Asadoma.

Beberapa nama di lokal NTT tapi saya pandang cukup dikenal luas dapat saya sebutkan, lain Drs. Frans Lebu Raya, Ir. Esthon L. Foenay, M.Si, Ir. Umbu Mehang Kunda (alm), E.P da Gomez, dan sederet nama lainnya yang saya tidak bisa tuliskan.

Di bidang olah raga, NTT memiliki olahragawan handal seperti Sinyo Aliandoe, Hermensen Ballo, Eduardus Nabunome, Ana Riwu Rohi, Oliva Sadi, dan sejumlah atlit berprestasi internasional. Di luar orang-orang yang kita sebutkan di atas, masih begitu banyak “orang hebat” yang berkiprah di bidang pendidikan, olah raga, di bidang seni budaya dan sastra, misalnya, Umbu Pariangu, novelis perempuan, Mezra Pelandou, ada pegiat pariwisata dan masih banyak lainnya.

Beberapa berita saya sadur guna menggambarkan pengakuan orang luar NTT, tentang NTT. Pengakuan akan ketokohan orang NTT datang dari Menteri Perhubungan, Fredy Numberi saat meresmikan Bandara Frans Seda dan Pelabuhan Lorens Say, di Maumere, 9 Agustus 2010, “Perubahaan nama bandara menjadi bandara Frans Seda dan pelabuhan Lorens Say patut dibanggakan oleh masyarakat Kabupaten Sikka. Hal itu karena kedua sosok itu merupakan tokoh nasional yang harus dikenang. Sebagai pejuang harus dapat diteruskan oleh generasi penerus khususnya putera-puteri daerah” (Timex, 10 Agustus 2010).

Pengakuan lain datang dari Pemimpin Umum Harian Pos Kupang, Damyan Godho. Dalam kesempatan peluncuran Novel Cinta Terakhir karya V.J. Boekan di Kupang, (22 Februari 2011) beliau mengatakan, orang NTT memiliki bakat istimewa di bidang tulis menulis. Banyak penulis NTT yang berkiprah di tingkat nasional. Hal ini disebabkan budaya orang NTT yang mampu berbahasa Indonesia yang baik dan benar. (Pos Kupang, 16 Februari 2011).

Sumber Daya Alam (SDA), NTT menyimpan potensi menjanjikan untuk dikembangkan. NTT memiliki sinar Matahari sepanjang masa (potensi listrik tenaga surya), potensi angin yang melimpah, laut yang luas dengan hasil melimpah, garis pantai sepanjang 5000 Km, hutan, cendana, gunung, air, tambang, ternak, kekayaan budaya dan berbagai objek wisata.

Penduduk NTT berjumlah 5 juta lebih dengan sex ratio 99 (artinya, penduduk perempuan lebih tinggi satu persen dari penduduk laki-laki), jumlah terbesar usia produktif  (>15 tahun), angkatan kerja kurang lebih 2 juta orang. (BPS NTT, 2010). Penduduk beragama Katolik sebanyak 54,65 persen, Protestan 34,24 persen, Islam 8,25 persen, Hindu/Budha 0,22 persen dan lainnya 2,64 persen (data tahun 2007).

Deskripsi kekayaan alam NTT dibeber dengan gamblang oleh Albert Jata (Memahami Dengan Hati Dalam Membangun NTT). Ia menulis tiga Bab yaitu, Potensi di Segala Lini, Segenggam Intan dari Balik Hutan dan Bertahta di Atas Samudera. Albert menggambarkan betapa dahsyatnya potensi SDA NTT; di darat, laut, udara, pariwisata budaya, bawah laut, dalam bumi dan sinar matahari.

Demikian menurut Albert: Harta NTT ada di balik bumi, di atas tanah, di bawah Samudera. NTT memiliki 127 ribu Ha lahan basah, 1,5 juta Ha lahan kering, 15 sungai, 313 sarana irigasi,  potensi hutan, tambang (sering ribut), sumber energi panas bumi dan matahari, pantai yang panjang, laut yang kaya raya, panas matahari yang tak terkira, alam yang elok, aneka budaya yang unik, beragam bahasa dan adat istiadat, serta masyarakat yang religius. Berdasarkan penelitian Hans Daeng, paling tidak terdapat 15 kelompok utama etnik, 75 kesatuan etnik dan 500 subetnik yang disebut suku.

Di bagian lain, Drs. Pieter Sambut (Sumber Daya Laut dan Pesisir NTT), memetakkan potensi lestari laut NTT sebagai mutiara tersembunyi. Potensi lestari perikanan laut sebesar 388, 60 metrik ton/tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar 292,80 metrik ton/tahun. Potensi pengembangan budidaya rumput laut, mutiara dan teripang sekitar 5.150 ha, budidaya tambak 284,5 ha, dengan tingkat pemanfaatan baru 1,23 persen. NTT juga memiliki potensi wisata bahari dengan panorama yang luar biasa indah. Potensi hutan mangrove sekitar 37 ribu hektar, 160 jenis terumbu karang, dengan 350 jenis ikan yang mendiaminya, cadangan mineral, padang lamun dan jasa transportasi laut.  NTT memiliki luas kawasan hutan mencapai 1,8 juta ha, 14 persen hutan alami, hutan produksi 750 ribu ha, dengan produksi terbesar kayu Jati.

Ekonomi NTT sebenarnya sudah kesohor sejak abad ke-14 M, bahkan abad ke-10 M. Menurut I Gede Parimartha (Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara, 1815-1915, 2002), hasil utama yang dicari pedagang luar di Sunda Kecil (Kleine Soenda Eilanden), meliputi perdagangan budak, hasil hutan (kayu cendana, katu sapan dan lilin lebah), serta kuda. Produk-produk ini diperdagangkan dan dijual ke Cina, Eropa sampai Mauritus. Di tahun 1630-an, setiap tahun pulau Timor mengeluarkan kayu Cendana sebanyak 1.500-2000 bahar (setara 5.851-7.802 pikul), dengan keuntungan yang diperoleh pedagang Portugis dan Macau mencapai 150 persen sampai dengan 200 persen. Pedagang lainnya berasal dari Belanda dan Makasar. Mereka menjual Cendana di Makasar atau di Batavia. Sedangkan Flores terkenal sebagai penghasil kopra, Sumba penghasil Cendana dan ternak kuda, demikian Sabu dan Rote sebagai penghasil kuda.

Persoalan mendasar NTT adalah belum berhasil memadupadankan potensi SDM dan SDA menjadi sumber kekuatan ekonomi. NTT, bagaikan buah yang sedang mengalami masa dormansi; satu masa tidur panjang, menunggu waktu berkecambah (tumbuh). Wangi Cendana yang dilukiskan sebagai zamrut di Timor Eiland, telah terbawa pergi angin selatan entah ke mana? Sumba, Solor dan Timor, pulau Sandlewood tinggal kenangan. Sapi dan kuda pun tidak lagi menjadi primadona ekspor. Hutan-hutan (sebagai sumber pangan) digundulkan, debit air menurun, fluktuasi musim sulit diramal, dan kerawanan pangan mengancam kualitas gizi.

Dalam kesempatan mengikuti Pameran Harganas di Palu, Sulawesi Tengah, tahun 2010, wartawan Pos Kupang, Benny Dasman menulis sebagai berikut: Cendana Tak Harumkan Celebes. Tulisan ini bercerita tentang Tim BKKBN Provinsi NTT yang kewalahan melayani permintaan pembeli yang menginginkan minyak cendana dalam pameran tersebut. Seorang penjaga stan kemudian berkilah “jangankan minyaknya, di NTT saat ini, kayunya pun tak ada. Tapi itu rahasia, lain kali baru kami bawa (sekedar diplomasi) “ (Pos Kupang, 5 Agustus 2010).

Mengapa NTT dengan potensi “berlian” ini belum sanggup dikelola menuju gerbang kesejahteraan? Satu kajian historis tentang kemiskinan menyimpulkan bahwa hampir di seluruh kesempatan dan wilayah, kemiskinan hanya dapat diatasi dengan kerja keras, penghematan, investasi pada pendidikan, keinginan untuk mencari kesempatan yang lebih baik dan keinginan untuk mencoba yang baru dan berani mengambil resiko.

Pater Robet Mirsel, SVD, ketika ketika memberi Kata Pengantar pada buku E.P da Gomez (Mengangkat Citra Sebuah Nama, 2009), mengajukan tiga faktor kunci untuk menggapai kemajuan, yaitu pertama, pemimpin; tidak berpikir instan, melakukan sesuatu secara tangible, tetapi pemimpin yang mampu menanamkan dan mengusahakan nilai-nilai dan pembentukan mental-spiritual, agar memiliki ketahanan dalam menghadapi krisis. Kedua, rakyat yang harus menjadi pelaku ekonomi dan dididik ke arah kewirausahaan yang berproses, memiliki etos kerja, dan ketiga, peningkatan kualitas teknologi dan ilmu pengetahuan sesuai dengan konteks pengembangan NTT.

Satu benang merah dengan anjuran-anjuran tersebut, investasi pendidikan merupakan satu tema utama sejak NKRI didirikan. Pendidikan merupakan amanat konstitusi (UUD 1945) sebagai tugas utama pemerintah, mencerdaskan kehidupan bangsa. Proklamator Bung Hatta mengatakan, kalau rakyat mempunyai jiwa, tidak ada artinya intimidasi-intimidasi tersebut. Dan jiwa itu akan ada kalau rakyat mendapatkan pendidikan.

Pentingannya pendidikan sebagai investasi besar disampaikan pula Pater Paul Budi Kleden, SVD. Baginya, pendidikan merupakan prioritas pertama pembangunan NTT. Pater Philipus Tule, SVD menyinggung pendidikan di NTT diperlukan dalam membangun dialog. Wapres RI, Boediono (dalam kunjungan ke Ende), menyatakan bahwa perlu ada terobosan pembenahan pendidikan di daerah tertinggal. Tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan yang hanya business as usual atau biasa-biasa saja. Dengan demikian, suatu sketsa atau peta jalan menuju kesejahteraan rakyat NTT mesti disusun secara menyeluruh untuk menjadi payung pembangunan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Masihkah Bumi NTT Menyisahkan Harapan? Jawabannya tentu Iya.

Penulis: Emanuel Kolfidus,

Akademisi dan Anggota DPRD Provinsi NTT, Fraksi PDI Perjuangan

Berita Lainnya

Pendidikan Kader Madya; PDI Perjuangan NTT
22 November 2022
Pendidikan Kader Madya; PDI Perjuangan NTT
Author : Roy Tei Seran Center
Giat ke 4 Malaka Hijau
16 January 2022
Giat ke 4 Malaka Hijau
Author : Roy Tei Seran Center
456, 532, 4.845, 4.313: ANGKA PENTING SELEKSI CASN MALAKA
29 October 2021
456, 532, 4.845, 4.313: ANGKA PENTING SELEKSI CASN MALAKA
Author : Roy Tei Seran Center
Herman Hery Datang; Rina Tei Seran Pergi
18 May 2021
Herman Hery Datang; Rina Tei Seran Pergi
Author : Roy Tei Seran Center
Gagasan Pemikiran PDI Perjuangan NTT; Tata Kelola Pasca Bencana
20 April 2021
Gagasan Pemikiran PDI Perjuangan NTT; Tata Kelola Pasca Bencana
Author : Roy Tei Seran Center
Kongregasi Vokasionis Memanggil: Lomba Artikel dan Puisi
16 March 2021
Kongregasi Vokasionis Memanggil: Lomba Artikel dan Puisi
Author : Roy Tei Seran Center


Tinggalkan Komentar