![]() |
Judul di atas penulis torehkan sebagai semacam ringkasan dari refleksi kritis penulis menyaksikan realitas kehidupan sosial politik yang terjadi akhir-akhir ini, berdasarkan pengamatan penulis di berbagai media sosial yang berseliweran di jagat maya, yang sempat terekam dalam memori.
Penulis melihat bahwa dalam habitus manusia dewasa ini, cenderung mengarah pada pragmatism kalau tidak dikata jatuh pada pragmatisme. Tiap-tiap manusia cenderung mengejar keuntungan secara materiil kemudian mengabaikan nilai-nilai keutamaan yang sejati. Keadaan ini berdampak pada mudahnya manusia mengalami kejatuhan, memangsa sesamanya sebisa mungkin demi mengejar keuntungan bagi dirinya sendiri, seiring dengan adegium klasik yang pernah digaungkan oleh salah seorang filsuf barat Modern, Thomas Hobes, Homo Homini Lupus, dalam karyanya yang berjudul De Cive (1961). Homo homini lupus secara harafiah dapat dipahami sebagai Manusia yang memangsa atau menikam sesamanya.
Keadaan demikian bertentangan dengan cita-cita kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan yang mecita-citakan terwujudnya hakikat manusia sebagai Homo Socius. Homo socius dapat dipahami sebagai manusia yang bersahabat. Persahabatan demikian tidak hanya berarti sebatas pemahaman sempit manusia yang memenuhi tuntutan etis menyapa sesama, dalam hidup hariannya atau tuntutan religius menyapa sesama lewat mengasihi dan berbelaskasih. Persahatan yang sejati, yang menjadi rujukan penulis dalam konteks ini merujuk pada seorang filsuf Yunani klasik, Aristoteles, yang pernah berujar bahwa “No man is an island” atau tiada seorang pun yang hidup sendiri, tapi selalu bersama dengan ‘yang lain’. Aristoteles dalam ungkapannya mengisyaratkan ketidakmampuan manusia hidup seorang diri dan selalu tergantung pada sesamanya, dalam setiap sisi kehidupan. Orang dituntut untuk menanggalkan sifat individualistisnya dan masuk ke dalam komunitas kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, tepatlah seruan para tetua terdahulu tentang sahabat yakni, ia yang selalu setia bersama menghadapi tidak hanya peristiwa suka, tapi terlebih menghadapi peristiwa duka.
Persahabatan merupakan satu keutamaan hidup. Tiada satu institusi atau komunitas atau bahkan kelompok kecil seperti kelompok tani yang tidak mengharapkan terjalinnya persahabatan sejati. Dalam berbagai tradisi di dapati, menghadapi kesulitan-kesulitan atau tantangan-tantangan alamiah, manusia senantiasa bergandengan tangan menyelesaikannya secara bersama. Lihat semisal tradisi menanam atau memanen yang terjadi di sekitar wilayah Kabupaten Malaka maupun Kabupaten Belu. Tradisi itu Nampak lewat bagaimana masyarakat, dengan kaki dan tangan telanjang mampu menghancurkan semak berduri yang dipersiapkan menjadi lahan untuk menanam padi dan jenis sayur-mayur tanpa sentuhan alat produksi buah modernitas.
Seyogyanya, kemajuan di bidang teknologi, informasi, dan semua segi kehidupan berdampak langsung pada kuatnya persahabatan, jika tidak dikata sebagai saudara. Harusnya dengan modernitas, semangat hidup bersama, atau gotong royong, sebagai pemadatan dari pancasila menjadi ekasila, semakin utuh.
17 April 2019 silam, ketika pemilu presiden dan legislative berlangsung, penulis menyaksikan berbagai macam trik dan intrik yang hemat penulis mengurangi makna hakikih demokrasi. Demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang dianut oleh NKRI mengalami degradasi serius. Di sana-sini tampak upaya sikut menyikut yang menelan korban, terutama mereka yang tergolong sebagai kaum marjinal. Berbagai macam slogan dikampanyekan dengan seruan janji manis, menuasi sesal akibat janji itu using seiring terpilihnya wakil-wakil rakyat yang secepat kilat melupakan janji dan niatan mereka. Harapan akan terciptanya bonnum commune (kesejahteraan bersama) hanyalah slogan yang mengisi penuh mulut-mulut politisi. Meskipun demikian, penulis tidak ingin jatuh pada ekstrim klaim mutlak generalisasi. Penulis tetap yakin dan masih menemukan sosok yang komit dan konsisten dengan janji-janjinya. Setidaknya penulis masih menyaksikan satu atau dua orang millenials, anggota DPRD Kab. Malaka yang akhir-akhir ini menjadi sorotan berbagai media karena keberanian mereka menyampaikan kebenaran secara terbuka.
Penulis teringat seruan salah seorang akademisi kota Kupang, NTT, Dosen Universitas Nusa Cendana Kupang, Yusuf Kuhaty, ketika berceramah pada forum diskusi politik yang diselenggarakan Pemda Provinsi NTT di Kupang, Rabu (11/2). Ia mengatakan bahwa, hendaknya menjelang pemilu legislatif, sikap “fair play” perlu dijunjung tinggi sebagai roh demokrasi, jika kita tidak ingin Chaos terjadi di bumi Flobamora. Fakta yang terjadi saat ini adalah nafsu politik untuk saling menghancurkan, dan cenderung berlanjut sampai pada pasca pemilu. Sikut-menyikut, keretakan, masih saja menjadi utang buah demokrasi. Hemat penulis, mestinya ada upaya rekonsiliasi yang dibangun oleh para elit politik pasca pemilu, jika tidak ingin, lagi-lagi homo homini lupus bertahta atas manusia. Jangan sampai manusia merendahkan dirinya dengan menyajajarkan dirinya seperti binatang serigala yang menyerang sesamanya manusia, melainkan hendaknya manusia menjadi lebih mulia karena persahabatan dan rekonsiliasi.
Apakah tanggungjawab menggapai situasi damai, penuh persahabatan, dan kesejahteraan hanya merupakan tanggungjawab elit? Tentu jawabannya tidak. Setiap elemen dalam masyarakat mesti merasa bertanggunjawab atas situasi dan kondisi yang terjadi akibat pesta demokrasi lima tahunan ini. setiap insan manusia perlu menyadari jika tidak ada teman atau lawan abadi dalam politik. Hanya kepentingan yang abadi ketika berurusan dengan politik. Semestinya tidak sesempit itu pemahaman kita tentang politik. Harusnya, jauh lebih dari pada itu, seiring dengan ungkapan Aristoteles, Filsuf Yunani Kuno, Politik mestinya menghadirkan situasi kondisi Bonum Commune.
Penulis lewat refleksi kritis ini hendak mengatakan bahwa Bonum Commune bukanlah suatu hal yang absurd. Jalannya saja yang berliku dan terjal, namun bukan berarti kita tidak dapat tiba di titik itu. Liku dan terjalnya jalan menuju ke situasi kondisi demikian mesti menjadi persoalan yang harus kita hadapi bersama. Hemat penulis, dengan masuknya figur-figur millenials di ranah politik, mulai dari pusat hingga ke daerah telah menyapu jalanan yang kotor dan meluruskan jalan berliku karena penulis yakin, Jokowi, Presiden RI telah melakukan suatu lompatan generasi yang tidak biasa. Hal ini seiring dengan cita-cita, visi-misinya sebagai presiden dua periode REpublik kecintaan Indonesia.
Di akhir refleksi singkat yang jauh dari sempurna ini, penulis masih punya keyakinan bahwa adegium “homo homini lupus” dapat kita gantikan dengan Homo socius, demi terciptanya Indonesia, NTT, Malaka yang menjunjung tinggi semangat Bonum Commune. Manusia hanya dapat hidup dalam kebersamaan atau persahabatan, bersama-sama melawan kerasnya dunia, bersama-sama menciptakan kedamaian, bersama-sama melewati jalan terjal dan berliku, dan bersama tiba pada hakikat politik, kesejahteraan bersama. Mari berpolitik dengan santun tanpa mengabaikan fair play dan persaingan sebagai bukti keseriusan menghadirkan hidup yang bermartabat dan mulia. Mari, terutama wahai engkau yang memang merasa diri dan memang seorang elit, baik dalam hal politik, modal maupun kekuasaan, jadilah teladan bagi kami, demi maju dan bersatunya tanah tercinta yang Tuhan anugerahkan secara cuma kepada kita. Buatlah hidupmu dan hidupku yang sangat singkat ini menjadi hal yang berarti, setidaknya demi kelangsungan hidup anak cucu serta dunia yang makin tua ini.
Kupang, menjelang akhir November,
Penulis
Mario Lody Leon,
Alumni Seminari Lalian, Mahasiswa Universitas Nusa Cendana Kupang, Jurusan Akuntansi Semester 1.
![]() |
![]() |
![]() |
29 October 2021
456, 532, 4.845, 4.313: ANGKA PENTING SELEKSI CASN MALAKA Author : Roy Tei Seran Center |
![]() |
![]() |
20 April 2021
Gagasan Pemikiran PDI Perjuangan NTT; Tata Kelola Pasca Bencana Author : Roy Tei Seran Center |
![]() |
16 March 2021
Kongregasi Vokasionis Memanggil: Lomba Artikel dan Puisi Author : Roy Tei Seran Center |