|
RTS.Center.Com – 2/12/2020 – Roma – Opini – Pada tahun 2018 terbit sebuah buku dengan judul “How Democracies Die”. Buku ini hasil karya duet: Steven Levitsky and Daniel Ziblatt. Buku ini menjadi Bestseller Internasional. Pada tahun 2019, terbitlah edisi berbahasa Indonesia oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, dengan judul “Bagaimana Demokrasi Mati”. Buku ini kembali hangat dibicarakan beberapa hari lalu, saat Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, mengunggah dalam akunt media sosialnya “ia sedang duduk santai membaca buku itu”. Unggahan Sang Gubernur ini kemudian memunculkan ragam reaksi dan tafsir. Kita seruput kopi hitamnya dulu.
Buku “How Democracies Die” ini sebenarnya merupakan hasil penelitian dari para penulis akan dinamika politik dalam negeri Amerika Serikat, Pilpres AS 2016 serta satu masa pemerintahan Donald Trump. Buku ini tersusun dari sembilan bab dengan uraian-uraian yang menarik untuk dibaca. Ada beberapa sampel representatif soal bagaimana demokrasi itu mati sampai pada bagaimana usaha untuk menyelamatkan demokrasi itu sendiri. Pada bagian pengantar para penulis mengawali dengan sebuah pertanyaan: “apakah demokrasi kita dalam bahaya?”. Pertanyaan yang menurut mereka tidak pernah terbayangkan untuk diungkapkan atau ditanyakan. Tapi berkaca pada hasil penelitian mereka pada Pilpres AS 2016 dan setahun masa pemerintahan Trump, memberanikan mereka untuk bisa mengajukan pertanyaan itu: “apakah demokrasi kita dalam bahaya?”
Bagian-bagian dari buku ini memang sangat menarik untuk dibaca, direfleksikan dan dianalisa. Tapi saya lebih merasa tertarik pada bagian terakhir buku ini, pada bab sembilan, yang tampil dengan judul “menyelamatkan demokrasi” (bdk. terj. Indonesia.pdf. hal.178, dst). Ada persepsi bahwa demokrasi sedang mundur di seluruh dunia. Venezuela. Thailand. Turki. Hungaria. Polandia. Bahkan Larry Diamond, seorang ahli demokrasi terkemuka berpendapat bahwa era sekarang adalah era di mana kita sedang memasuki era resesi demokrasi. Dan salah satu penyebab bahwa demokrasi sedang dalam bahaya adalah dengan adanya polarisasi dalam masyarakat kita.
Dengan adanya polarisasi ini makin banyak penyimpangan dari aturan politik tak tertulis dan meningkatnya perang antar lembaga – dengan lain kata, demokrasi tanpa pagar solid. Politik pun menjadi politik tanpa pagar (bdk, terj.Indonesia.pdf. hal.201). Adanya polarisasi ini membuat rapuh dua norma yang ada dalam demokrasi yakni: saling toleransi dan sikap menahan diri (bdk. hal.204).
Kita ke Pilkada di Malaka. Pertanyaan yang sama ingin saya ungkapkan disini: “apakah demokrasi kita dalam bahaya?”. Memang mungkin terlalu berlebihan jika membandingkan dinamika politik yang ada di Malaka dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat. Tapi rasanya tidak menjadi soal jika kita belajar dari beberapa kesamaan fenomena dan dari kesamaan nilai yang ada.
Dua-tiga hari terakhir mendapat kiriman entah foto ataupun video via WAG (WhatsApp Group) bathin saya bergumam: “sudah separah inikah demokrasi di Malaka?” Bacaan saya, rupa-rupanya fenomena polarisasi ini juga sudah ada di Malaka, tanah kelahiranku tercinta. Polarisasi dalam konteks ini adalah saat di mana masyarakat kita terbelah ke dalam dua kutub yang berseberangan entah karena isu, kebijakan, ataupun pilihan politik.
James Q. Wilson (2012), seorang ilmuwan politik berpendapat bahwa komitmen kuat terhadap kandidat dalam kontestasi politik dapat berpengaruh pada terbentuknya polarisasi di kalangan pemilih. Atau seorang filsuf bernama filsuf Lee McYntire pernah bilang bahwa, dalam diri setiap kita ada yang disebut “cognitive bias”. Bias kognitif ini mau menjelaskan bagaimana individu yang sudah terindoktrinasi atau tertambat dengan figur dan keyakinan tertentu selalu memiliki alasan untuk mempertahankan dan mengkultuskan figur ideal dan doktrinnya (Bdk. McYntire, 2018:48). Bila polarisasi sudah sampai pada fase ini, atas nama demokrasi, segala cara menjadi halal. Namun ada hal yang positif dari fenomena polarisasi ini yakni ia berpotensi meningkatkan partisipasi pemilih dan memperkuat dukungan partisan para kandidat.
Pada bagian di atas saya sempat katakan bahwa dengan adanya fenomena polarisasi ini membuat rapuh dua norma yang ada dalam demokrasi di Amerika Serikat yakni: saling toleransi dan sikap menahan diri. Pertama, soal toleransi. Toleransi dalam kamus berpikir para ilmuwan politik adalah bagaimana sikap untuk mampu menjaga dan menghormati setiap dinamika sosial-politik yang ada tanpa harus mempertegas “perbedaan” antara “kita” dan “mereka”. Menghargai dan menghormati setiap pilihan politik atau orientasi politik masing-masing justru semakin mempertegas makna dari sifat toleransi.
Pertarungan politik Pilkada di Malaka perlu ada dalam atmosfer ini: berbeda tapi tetap saling menghargai dan menghormati. Kita semua adalah saudara, Oan Malaka (Bahasa Tetum, Oan berarti Anak. Oan Malaka berarti Anak Malaka). Kedua, soal sikap menahan diri. Kubu-kubu yang berseberangan seharusnya bisa menahan diri baik dalam ruang individu dan publik dengan tujuan membangun kedamaian di antara berbagai perbedaan soal pilihan, isu, dan kebijakan. Menahan diri terhadap aksi-aksi yang bisa memecah belah persatuan dan persaudaraan kita sebagai anak Malaka, Oan Malaka.
Tiba disini rupanya, kita perlu selamatkan dan mengusap bersih wajah buram demokrasi kita, dengan harus berani menghapus tuntas fenomena polarisasi yang ada dan sedang terjadi sampai pada titik bahwa tidak ada polarisasi diantara kita, Oan Malaka. Demokrasi menjadi pesta akbar yang indah apabila kita utamakan sikap egalitarianisme, kesantunan dan kita respek pada kebebasan tiap individu dan pada sesama kita, Oan Malaka. Demokrasi adalah pesta pertarungan gagasan, otak dan bukan pesta pertarungan otot. Akhirnya, saya menutup tulisan ini dengan kutipan dari penulis, E.B. White, yang ada juga pada buku “How Democracies Die” ketika ia ditanya soal “apa itu demokrasi”? Jawabannya agak aneh tapi menginspirasi: “demokrasi adalah surat kepada editor. Demokrasi adalah rasa privasi di bilik suara, rasa kebersamaan di perpustakaan, rasa vitalitas di mana-mana. Demokrasi adalah gagasan yang belum dibantah dan lagu yang kata-katanya belum buruk. Demokrasi adalah “jangan” dalam “jangan saling dorong”. Demokrasi adalah antrean yang terbentuk di sebelah kanan” (bdk. terj. Indonesia.pdf. hal.221). Cukup dulu. Kita sambung nanti. Mari seruput kopinya sambil ditemani akabilan dan tubi ramas ala pasar loro-loron Besikama (Sebuah pasar yang terdapat di Besikama, Kecamatan Malaka Barat, Kabupaten Malaka, Provinsi NTT).
(Sebuah Catatan Lepas atas Pilkada Malaka)
Doddy Sasi, CMF.
(Warga Malaka, tinggal di Roma-Italia)
|
|
|
29 October 2021
456, 532, 4.845, 4.313: ANGKA PENTING SELEKSI CASN MALAKA Author : Roy Tei Seran Center |
|
|
20 April 2021
Gagasan Pemikiran PDI Perjuangan NTT; Tata Kelola Pasca Bencana Author : Roy Tei Seran Center |
|
16 March 2021
Kongregasi Vokasionis Memanggil: Lomba Artikel dan Puisi Author : Roy Tei Seran Center |