SHARE :

Rumah Kita Indonesia, Soekarno Arsiteknya!!!

Terbit : 17 June 2020 / Kategori : Artikel / Politik / Refleksi / RTS Center / / Author : Roy Tei Seran Center
Rumah Kita Indonesia, Soekarno Arsiteknya!!!

Royteiseran.Com – 16/06/2020 – Kupang – Refleksi – Laksana mendirikan rumah, rumah Indonesia dibangun oleh para arsitek terbaik, Ir. Soekarno (baca: Bung Karno) dan para “arsitek” bangsa lainnya. Rumah Indonesia dibangun dengan fondasi yang kuat nan kokoh, yaitu Pancasila.

Fondasi rumah Indonesia merupakan suatu dasar falsafah (philosofiche grondslag), yang menjadi pedoman bagi hukum, norma dan pandangan hidup manusia yang hidup di dalamnya. Dari mana datangnya struktur fondasi tersebut? Tentu jawabannya ialah dari upaya dan kerja keras, melalui suatu pengalaman kearsitekkan para “arsitek” tersebut, khususnya Bung Karno yang adalah seorang insinyur.

Bung Karno tercatat sebagai salah satu mahasiswa gemilang di Technische Hoogoeschool te Bandoeng (sekarang Institut Teknologi Bandung atau biasa disingkat ITB). Ia memulai perkuliahannya di tahun 1920/1921, namun setelah belajar selama dua bulan, ia keluar. Setahun sesudahnya, tepatnya di tahun 1922, ia kembali melanjutkan kuliahnya hingga selesai di tahun 1926 dan mendapat gelar insinyur (Ir).

Selain berkuliah sebagai seorang Mahasiswa Teknik, Bung Karno tergabung dalam dunia pergerakan mahasiswa, sebagaimana sebelumnya, Bung Karno merupakan pelajar pergerakan di Surabaya dengan guru utama HOS Tjokroaminoto. Semasa berada di Bandung, jiwa pergerakan Bung Karno semakin kuat, yang Nampak dari keseringannya menyelenggarakan kursus-kursus politik, di rumah tinggal milik Inggit Ginarsih (yang kemudian menjadi isteri beliau).

Tercatat, Bung Karno pernah berpidato dalam suatu rapat umum di Bandung dan menyerukan supaya rakyat berhenti menyembah di depan pemerintah kolonial (Belanda). Karena orasinya tersebut, Bung Karno ditegur oleh rektor TH (ITB Bandung-saat itu), Prof. Ir. Jan Klopper. Meskipun sudah diperingati, jiwa pergerakan Bung Karno semakin hari semakin meledak-ledak, memecah batu kolonialisme Belanda yang sudah sangat mengental di kala itu.

Sebagaimana tulisan saya sebelumnya, di Bandung, daerah Mohamad Toha, tepatnya bagian selatan Bandung, Bung Karno bertemu dengan Pak Marhaen. Inilah cikal bakal fondasi rumah Indonesia, yang dimulai dengan gagasan Marhaenisme.

Kaum muda masa itu bertanya, bagaimana Bung Karno melakukan propaganda politik atau pendidikan politik, ketika kondisi teknologi informasi sangat terbatas? Demikian pula pertanyaan yang sama tentu datang dari kaum milenial era ini. Kala itu tidak ada fasilitas seperti saat ini, di mana hampir setiap orang memiliki gadget, semisal handphone (HP), dengan segala jenis aplikasi seperti internet, facebook, twitter, Instagram, whastapp, dan media sosial lainnya?

Bagaimana Bung Karno bisa melakukannya?

Bukan namanya Arsitek sekaligus pemikir jika Bung Karno tak mampu mengatasi keterbatasan teknologi informasi kala itu. Bung Karno mulai memainkan strategi komunikasi politik dan pencerahan politik dengan keterbatasan saat itu. Koran cetak (menulis berbagai opini dan artikel politik), rapat-rapat umum dan kursus-kursus politik adalah jalan baginya merangkai struktur fondasi Republik yang teramat besar ini.

Bung Karno telah mengambil sebuah langkah yang sangat berani. Bayangkan, jika anda melakukan hal ini saat Orde Baru sedang berkuasa, mungkin yang tersisa hanya tinggal nama dan kenagan saja. Tetapi Bung Karno dan kawan-kawan sedemikian berani, bahkan terhadap penjajah sekalipun, meskipun nyawa taruhannya. Keberanian dan kenekatan Bung Karno tersebut harus dibayar mahal ketika ia ditangkap, diadili dan dipenjara.

Sebenarnya, setelah diwisuda, Bung Karno bersama kedua temannya, yakni Ir. Anwari dan Ir. Rooseno, mendirikan Biro Arsitek,. Nama terakhir ini (Rooseno), sempat menjadi Rektor ITB dan mendapat julukan “Bapak Beton Indonesia”. Kurang lebih 11 rumah tinggal di Bandung, dirancang oleh Bung Karno. Menurut Yuke Ardhiati (2005), arsitek Bung Karno taat pada trinitas arsitektur, yang dicetuskan Marcus Vitruvius Pollio, yang meliputi kekuatan, kegunaan dan keindahan.

Tak ketinggalan, Jakarta, sebagai Ibu Kota Negara pun, setidaknya terjamah oleh Sang Proklamator, berupa sembilan bangunan yang arsitekturnya adalah hasil karya Bung Karno, yaitu: Masjid Istiqal, Momumen Nasional (Monas), Stadion Utama Gelora Bung Karno, Hotel Indonesia, Gedung Sarinah dengan 15 lantai (75 m), Patung Dirgantara (Patung Pancoran), Monumen Selamat Datang, Wisma Nusantara dengan 30 lantai (100 m), dan Gedung DPR/MPR, yang semula diperuntukkan bagi pertemuan negara-negara New Emerging Forces (negara-negara non blok, yang lahir dari gagasan Bung Karno, untuk mengimbangi kekuatan Blok Barat (AS dan sekutu) dan Blok Timur (Rusia dan sekutu).

Tentu bukan kebetulan jika keahlian arsitektur harafiah Bung Karno mempengaruhi keahlian arsitektur politik Bung Karno. Ia berhasil Menggali dan menempatkan Pancasila sebagai dasar rumah Indonesia, sehingga Pancasila merupakan karya “arsitektur” tertingginya. Demikian sang arsitek yang selalu memahami arsitektur sebagai ilmu yang menerjemahkan ide-ide abstrak menjadi rancang bangun berwujud, berdasarkan 5 konsep prinsip keilmuan, yakni metafora, pragmatik, analogi, esensi dan utopia.

Cita-cita politik Bung Karno sebagai abstraksi tentang Indonesia yang jaya (baca: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia atau sosialisme Indonesia), dituangkannya secara nyata lewat penempatan Pancasila sebagai fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila menjadi fundamen berdiri kokohnya sebuah rumah bangsa yang besar, yang mampu menahan seluruh beban bangunan di atasnya, bahkan menjaga dan melindungi seluruh penghuninya dan kehidupan di dalamnya.

Bangsa Indonesia, tidak hanya di masa kemerdekaan Indonesia, tetapi juga generasi era ini mesti bersyukur, memiliki “arsitek-arsitek” terbaik, yang merancang bangun rumah Indonesia melalui kolaborasi seluruh elemen ke-Indonesia-an, membentuk satu rumah yang kokoh, berguna, indah dan nyaman.

Betapa dasyatnya, sejak lahirnya pergerakan kemerdekaan secara kedaerahan, kemudian menasional melalui Budi Utomo, upaya menggapai kemerdekaan kian memuncak. Pergerakan dan perjuangan tersebut berpuncak pada proklamasi Bangsa Indonesia, melalui Sumpah Pemuda pada 1928. Kita sekalian generasi yang di kata merdeka ini, wajib menghormati jasa pemuda kala itu, yang dengan kedasyatan mereka kala itu, melahirkan Sumpah Pemuda, dengan gelora sumpah bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa yang satu, Indonesia.

Meskipun berdarah-darah, penuh peluh dan teror penjajah, perjuangan yang dilewati senantiasa mengalami pasang surut, sebagai satu romantika revolusi. Pada 17 Agustus 1945, di atas dasar Pancasila, akhirnya para pemuda itu bersepakat memproklamirkan berdirinya negara Indonesia, yang berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Penulis menyudahi refleksi kritis ini dengan mengatakan bahwa sejarah pergerakan menggapai kemerdekaan Indonesia adalah suatu bentuk Heroisme. Banyak pahlawan bangsa yang sungguh mengorbankan jiwa dan raga demi kemerdekaan anak cucu bangsa ini. Cita-cita para arsitek itu sudah nyata dan sudah ada. Mari satukan hati dan pikiran, bergandengan tangan, mengisi kemerdekaan ini dengan bentuk heroisme yang lain, mulai dari lingkungan terkecil tempat tinggal dan beraktivitas kita masing-masing, menatap masa depan jaya Indonesia dengan senantiasa berkaca pada para “arsitek bangunan rumah Indonesia”. Jayalah selalu Indonesia sebagai Negara Bangsa (nation state), rumah untuk kita semua, perpaduan seluruh elemen Nusantara asli Indonesia. Suku, agama, ras dan antar golongan, menyatu dalam keberagaman yang membingkai membentuk Mozaik nan indah, yang diakui, dikagumi dan disegani bangsa lain. Rumah kita Indonesia, Pancasila dasarnya, Ir. Soekarno Arsiteknya. Red//

Dari Gubuk Marhaen, di Tengah Bulan Bung Karno

Penulis: Emanuel Kolfidus (Anggota DPRD Provinsi NTT, Komisi V, Praksi PDI Perjuangan

Berita Lainnya

Pendidikan Kader Madya; PDI Perjuangan NTT
22 November 2022
Pendidikan Kader Madya; PDI Perjuangan NTT
Author : Roy Tei Seran Center
Giat ke 4 Malaka Hijau
16 January 2022
Giat ke 4 Malaka Hijau
Author : Roy Tei Seran Center
456, 532, 4.845, 4.313: ANGKA PENTING SELEKSI CASN MALAKA
29 October 2021
456, 532, 4.845, 4.313: ANGKA PENTING SELEKSI CASN MALAKA
Author : Roy Tei Seran Center
Herman Hery Datang; Rina Tei Seran Pergi
18 May 2021
Herman Hery Datang; Rina Tei Seran Pergi
Author : Roy Tei Seran Center
Gagasan Pemikiran PDI Perjuangan NTT; Tata Kelola Pasca Bencana
20 April 2021
Gagasan Pemikiran PDI Perjuangan NTT; Tata Kelola Pasca Bencana
Author : Roy Tei Seran Center
Kongregasi Vokasionis Memanggil: Lomba Artikel dan Puisi
16 March 2021
Kongregasi Vokasionis Memanggil: Lomba Artikel dan Puisi
Author : Roy Tei Seran Center