|
RTS.Center.Com – 07/01/2021 – Kupang – Opini – Blusukan kembali menjadi viral, ketika Menteri Sosial (Mensos) RI yang baru, Tri Rismaharini melakukan blusukan di Ibu Kota, Jakarta. Setelah sekian lama, Indonesia bergulat dengan pandemi, dengan isu-isu korupsi, HAM dan FPI, Risma, membuat geger Ibu Kota negara dengan menjadi “Menteri Blusukan”. Apa sih blusukan itu ?Mengutip dari google, bulusukan merupakan kata yang berasal dari bahasa Jawa, dari kata dasar blusuk “masuk” dan akhiran – an (afiks verba) yang berarti ‘masuk-masuk ke tempat tertentu untuk mengetahui sesuatu’. Jadi, dalam bahasa Jawa, blusukan merupakan verba. Verba merupakan sebuah kata yang menyatakan keadaan, perbuatan atau tindakan yang dapat berubah bentuk sesuai dengan sistem perkonjugasian dalam kalimat dan berfungsi sebagai predikator. Menurut Finoza (2004:65-66), verba adalah kata yang menyatakan perbuatan atau tindakan, proses, dan keadaan yang bukan merupakan sifat. Singkatnya blusukan merupakan suatu kata kerja dan berdiri sebagai predikat dalam kalimat. Misalnya, Risma blusukan di kawasan elite Sudirman. Artinya, Risma melakukan kegiatan memasuki kawasan (kumuh) di wilayah elite Jakarta, yaitu daerah Sudirman untuk mengetahui lebih jauh sesungguhnya kehidupan manusia, orang atau masyarakat ibu kota negara ini seperti apa. Ada apa dibalik gedung-gedung pencakar langit di daerah Sudirman, atau sisi lain dari kawasan elite Sudirman?
Jika demikian, sesungguhnya, blusukan Risma merupakan suatu tindakan wajar dalam kedudukannya sebagai Menteri Sosial RI, hal mana sesuai dengan amanat UUD 1945, bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Bukankah warga DKI adalah warga negara Indonesia? Tetapi, mengapa beberapa kalangan mempersoalkan blusukan Risma? Bukankah blusukan ini baik dan sudah seharusnya? Mereka menyatakan itu bukan pekerjaan Mensos, itu hanya untuk pencitraan, atau kenapa tidak pergi juga ke daerah-daerah lain di Indonesia? Tentu akan banyak ragam dan sudut pemikiran yang memayungi pertentangan atas aksi blusukan Risma ini. Setidaknya, satu faktor dominan dalam kontradiksi ini adalah aspek politisasi terhadap kegiatan Risma sebagai Menteri Sosial. Tujuan politisasi ada macam-macam, namun saya memilih atau menduga ada dua tujuan. Pertama, kaum penentang blusukan ingin terus mengkapitalisasi kasus korupsi dana Bansos di Kementerian Sosial, yang menyebabkan pergantian Mensos, untuk menghukum dua pihak sekaligus, pelaku korupsi (mantan Mensos) maupun PDI Perjuangan, dari mana partai asal mantan Mensos yang tertangkap korupsi. Apakah hanya mantan Mensos yang korupsi? Tidak! Hampir semua partai mengalami masalah korupsi oleh satu atau lebih kadernya. Namun, korupsi bansos menjadi seksi dan harus terus digelorakkan di luar ranah hukum, yakni untuk kepentingan elektoral dalam rivalitas politik. PDI Perjuangan menjadi sasaran tembak dari rivalitas ini. Mainan medsos begitu masif, sampai terbentuk tagar bubarkan PDI Perjuangan. Apakah mainan politik ini efektif? Mungkin iya, tetapi survey membuktikan, per hari ini, PDI Perjuangan masih menjadi partai dengan keterpilihan tertinggi (nomor satu) dari sigi yang dilakukan sejumlah lembaga survey. Teranyar, pasca OTT mantan Mensos, survey SMRC membuktikan PDI Perjuangan sebagai partai dengan level elektabilitas tertinggi di angka 31 persen. Terhadap hasil survey, kader PDI Perjuangan, Dr. Andreas Hugo Pareira berpendapat bahwa, masyarakat sudah memiliki kecerdasan dalam membedakan korupsi sebagai tindakan pribadi dan bukan suatu tindakan organiasi. Karena itu, kasus yang menimpa mantan Mensos tidak berpengaruh signifikan terhadap elektablitas PDI Perjuangan. Bukan artinya PDI Perjuangan toleran terhadap korupsi, justeru PDI Perjuangan sangat serius dalam membangun tatanan anti korupsi, tetapi jika masih terjadi korupsi, itu benar-benar tindakan pribadi.
Tujuan kedua dari polemik blusukan Risma yang saya duga adalah dalam kepentingan menuju rivalitas Pilkada DKI Jakarta. Gubernur incumben Anies Baswedan tentu masih ingin maju, dan tentu masih banyak figur lain, apakah misalnya, AHY yang pernah mencoba peruntungan dalam pilkada DKI lalu dengan terpaksa keluar dari karier militernya (TNI) juga akan kembali mencoba peruntungan. Nah, gaya blusukan Risma menjadi terapi kejut bagi status quo DKI saat ini yang lebih mengandalkan retorika dan permainan citra. Risma datang menciptakan konstrasting sosial sehingga beberapa pihak yang adem ayem dan nyaman dengan gaya melankolis selama ini, kaget dan galau. Ini seperti tantangan sekaligus tamparan. Nah, tidak ada cara lain, kecuali harus mencerca gaya Risma, harus men-downgrade gaya Risma karena tidak mungin lagi mereka ikut-ikutan blusukan. Siapa suruh ente tidak mau blusukan lebih dahulu daripada Risma? Salah sendiri dong. Orang menduga, Risma akan disodor menjadi calon Gubernur DKI masa depan. Bisa jadi, tetapi gaya Risma ini menjadi ujian bagi incumben maupun figur lain yang akan mencoba ikut bertanding dalam turnamen pilkada DKI nanti.
Blusukan sebagai habitus baru
Semua orang tentu tahu teori-teori tentang gaya kepemimpinan. Dari semua literatur, memang belum tercantum gaya kepemimpinan blusukan. Namun meihat model dari blusukan, saya dapat sepakat bahwa ini merupakan satu gaya kepemimpinan baru, yang secara umum dapat disebut sebagai gaya kepemimpinan merakyat. Tetapi, bagi saya, blusukan menjadi lebih operasional daripada merakyat, sebagai mana tadi di awal dikatakan bahwa blusukan merupakan sebuah verba (kata kerja), sedangkan merakyat saya pikir lebih merupakan kata sifat (ajektif) yang menerangkan tentang kuantitas, kecukupan, urutan, kualitas maupun penekanan suatu kata. Merakyat itu indah kata-katanya tapi bagaimana dalam praktek? Sedangkan blusukan begitu operasional sekaligus indah dan nyata dalam tindakan. Analog, seperti Bung Karno lebih memilih terminologi gotong royong daripada kerja sama. Gotong royong itu lebih verba daripada kerja sama. Gotong royong itu suatu pembantingan tulang bersama, suatu kerja sama yang sangat aktif dan sangat keras.
Blusukan sebenarnya menjadi branding dari Jokowi ketika memulai pertarungan politik di kota Solo dan berlanjut ke DKI Jakarta. Tetapi sejumlah kepala daerah lain pun menerapkan gaya ini (blusukan), seperti Risma sebagai Walikota Surabya dan Ganjar Pranowo sebgai Gubernur Jawa Tengah. Karena itu, saya berpendapat bahwa blusukan sebagai satu model atau gaya kepemimpinan harus menjadi habitus baru politik kekuasaan, yang selama ini terlihat cemen dan kering dengan gaya-gaya melankolis, formal dan mengandalkan suatu kewibawaan fisik. Jokowi lahir dalam medan politik bukan tanpa bekal atau datang dengan tangan kosong, namun, ia terjun dengan bekal kuat, blusukan sebagai suatu habitus baru politik. Blusukan meningkat derajatnya menjadi suatu hasil internalisasi struktur dunia sosial atau struktur sosial yang dibathinkan. Blusukan menjadi realisasi kerja fisik yang bersumber dari semangat bathin. Blusukan tidak asal muncul sebagai suatu aktivitas fisik semata tetapi lahir karena hasil refleksi bathin. Bung Karno mengatakan, aksi harus diikuti dengan refleksi.
Blusukan memang terkesan kuno, tetapi ia menjadi antitesa dari berbagai gaya kepemimpinan modern yang lebih nyaman berada di belakang meja, di atas kursi-kursi empuk, terkurung dalam ruangan full AC di antara dinding-dinding tebal. Blusukan menjadi suatu sintesa gaya kepemimpinan baru, memadukan antara pendekatan kebudayaan, pendekatan kemanusiaan dengan pendekatan manajemen organisasi moderen. Jokowi, Risma dan Ganjar, bukanlah pemimpin kuno karena gaya blusukan. Justeru mereka merupakan pelopor digitalisasi manajemen kepemimpinan, digitalisasi berbagai program pemerintahan seperti e-budget, e-planning, dan e-pokir. Mereka sangat berhasil memadukan blusukan dengan kecanggihan teknologi informasi untuk menciptakan efektifitas kepemimpinan. Mereka menggunakan berbagai kemajuan teknologi informasi (IT) dalam memimpin, menciptakan manajemen efektif tetapi tidak meninggalkan roh kepemimpinan yaitu: blusukan. Blusukan, dalam bahasa Ketua Umum PDI Perjuangan, Ibu Megawati Soekarnoputri, bahwa seorang pemimpin harus terus turun ke bawah, turun ke bawah, turun ke bawah!
Blusukan adalah roh, roh kerakyatan, roh gotong royong, bahwa suatu kepemimpinan, pertama-tama hadir untuk melayani mereka yang paling lemah (option for the poor). Kepemimpinan, seharusnya tidak datang untuk dan atas nama orientasi semakin meng-establish yang paling kuat dan sudah mapan, tetapi, masuk mencari mereka yang tertinggal. Apakah blusukan tidak relevan? Mana buktinya? Sepanjang dalam konteks politik, gaya blusukan membutikan efektivitas bagi kepentingan elektoral politik. Jokowi, Risma, Ganjar, dan masih banyak pemimpin lain yang bergaya blusukan, terbukti menang dalam berbagai konstetasi politik elektoral. Berarti, blusukan sebagai habitus baru memang dibutuhkan dan lebih dirindukan oleh rakyat dari pada gaya-gaya lainnya. Inilah garansi bahwa blusukan merupakan tindakan kepemimpinan terpuji. Silahkan berdebat, bersilang pendapat, berpolemik, namun sudah pasti Jokowi, Risma, Ganjar dan lain-lain pemimpin akan terus blusukan karena dalam blusukan akan tercipta proses menyatunya pemimpin dengan yang dipimpin.red//Penulis: Emanuel Kolfidus Leti – Akademisi – Anggota DPRD Provinsi NTT 2019-2024 Fraksi PDI Perjuangan.
|
|
|
29 October 2021
456, 532, 4.845, 4.313: ANGKA PENTING SELEKSI CASN MALAKA Author : Roy Tei Seran Center |
|
|
20 April 2021
Gagasan Pemikiran PDI Perjuangan NTT; Tata Kelola Pasca Bencana Author : Roy Tei Seran Center |
|
16 March 2021
Kongregasi Vokasionis Memanggil: Lomba Artikel dan Puisi Author : Roy Tei Seran Center |