SHARE :

Koruptor atau “Pencuri”: Homo Homini Lupus?

Terbit : 11 March 2020 / Kategori : Artikel / Malaka / Opini / Komentar : 0 komentar / Author : Roy Tei Seran Center
Koruptor atau “Pencuri”: Homo Homini Lupus?

RTS.Center.Com – 11/03/2020 – Italia – Opini – Saya seorang tifosi Juventus tulen. Tapi untuk memulai tulisan ini, saya terinspirasi oleh permainan Barcelona dalam beberapa dekade terakhir ini. Meskipun sekarang nuansa tiki-takanya tidak sekental saat diasuh oleh Pep Guardiola tetap saja enak untuk ditonton. Operan dari belakang ke tengah. Tengah kembali ke belakang atau ke depan. Operan dari ke kiri lansung ke kanan. Tusukan-tusukan lincah dari para pemain sayap yang menggemaskandan mendebarkan. Ketepatan mengumpan. Keganasan para striker di depan gawang lawan. Kelihaian sang dirigen di lapangan tengah membaca dan mengatur ritme permainan menjadikan permainan mereka layaknya sebuah konser orkestra. Sehingga tak jarang Barcelona sering memiliki statistik “ball posssesion” yang cukup tinggi saat berhadapan dengan tim lain, rata-rata mencapai 70% berbanding 30% atau bahkan lebih.

Menilik statistik ini tentu wajar, sebab setiap skuad pasti bermain untuk menguasai dan memenangkan pertandingan (ingat slogan: veni.vidi, vici-datang, lihat dan menang). Meski kadang statistik “ball possesion” yang tinggi tidak menjamin sebuah kemenangan. Dalam konteks tulisan ini terminus “menguasai” dan “memenangkan” ini penting bagi saya. Sebab seandainya saja term korupsi itu masuk dan menyentuh langsung sebuah permainan sepakbola, bisa kita katakan bahwa Barcelona sudah banyak kali “meng-korupsi” apa yang sebenarnya menjadi milik tim lain dengan terlalu dominannya menguasai bahkan menekan habis-habisan untuk menjadi yang superior. Kita rehat sebentar dulu.

Sejenak bisa tertawa dengan refleksi yang “aneh” ini, menarik nafas halus, menyeruput kopi mungkin sambil menguyah sirih pinang, sambil bercerita ringan ngilur-ngadul ala kita orang Malaka.

Korupsi. Kata ini tidak tunggal. Kata ini tidak bisa berdiri sendiri. Kata yang butuh teman. Korupsi itu kadang layaknya seperti sebuah permainan orkestra yang indah. Membuat orang menikmatinya meski tahu ada hukuman berat dibalik itu. Atau biar sejalan dengan sentuhan pembuka diatas, korupsi bisa dianalogi layaknya sebuah permainan sepakbola. Kadang ada yang bertugas menangkap layaknya seorang kiper, ada bertugas menjaga rapat mati-matian seperti para pemain belakang, ada yang mengatur ritme dan tempo bermainnya layaknya seorang pemain tengah dan ada yang bertugas mengeksekusi setiap peluang yang ada seperti seorang striker. Sehingga tak jarang kita mendengar istilah korupsi yang “berjemaah”.  Atau korupsi menjadi fenomena yang sistemik sebab diluar akal sehat jika korupsi itu hanya dimainkan secara tunggal. Kita rehat lagi dulu sebentar sambil lanjut menguyah sirih pinang khas Malaka yang dibeli di pasar “loron-loron” Besikama atau pasar “Bei Abuk” Betun.

Koruptor. Para pelaku korupsi disematkan sebuah nama keren: koruptor. Rasa saya, lebih tepat menggunakan term “pencuri”, sebab berasal dari sebuah aksi yang sama yakni mencuri. Merekalah yang sebenarnya harus disebut pencuri “kelas berat”. Sebab mereka mencuri uang rakyat. Atau mungkin ada diskriminasi dan distinksi terminus juga dalam mencuri. Rakyat biasa yang mencuri disebut pencuri sedangkan jika untuk para pejabat berdasi disebut koruptor. Lihat saja raut wajah koruptor ketika ditangkap tidak pernah sedih atau takut, pada umumnya ceria, senyam-senyum dan tertawa ketika disorot ke publik. Sungguh menusuk hati nurani kita. Bahkan ditangkap 1 muncul 1000, hampir-hampir mirip lagu gugur 1 tumbuh 1000, meski beda konteksnya.

Problematika diatas memacu adrenalin berpikir saya dan saya teringat akan seorang pemikir Inggris, Thomas Hobbes, yang mengatakan: “a crime, is a  sin, consisting in the committing,  by  deed  or  word,  of  that  which  the  law  forbiddeth  or  the omission  of  what  it  hath  commanded.  So that every  crime  is  a  sin,  but  not every   sin   is   a   crime”. Korupsi  dikategorikan  sebagai  perbuatan  yang  bersifat  antisosial,  “ia” dianggap sebagai patologi sosial, oleh karenanya korupsi menjadi “penyakit” dan   merugikan   masyarakat. Perilaku korupsi merupakan bentuk pengingkaran jati diri sosial seseorang terhadap masyarakat. Disini menarik juga untuk menampilkan pikiran Hobbes ketika ia berbicara soal “homo homini lupus est” (manusia adalah serigala bagi sesamanya). Era dimana manusia hidup dalam kebengisan tanpa berperikemanusiaan dan penuh dengan naluri kebinatangan. Saat dimana manusia ingin menguasai dan menjadi pemenang dengan cara memangsa sesamanya. Memakan atau dimakan. Menipu atau ditipu. Menindas atau ditindas.  Dominasi total dan tekanan habis-habisan menjadi senjata untuk menguasai sesamanya. Dan kegelisahan atau lebih baik kekuatiran Hobbes beberapa abad lalu itu kini terbukti dalam konteks kita melalui salah satu cara yang sudah menjadi habit  yakni korupsi. Para koruptor melihat orang lain sebagai musuh yang harus ditakluk dan dikuasi. Salah satu cara menguasai orang lain adalah peningkatan kelas sosial dan penguatan ekonomi, apapun caranya karena kodrat manusia adalah mahkluk libidal dan masyarakat hanyalah arena kompetisi abadi.

Hobbes juga berbicara soal negara dengan konsepnya tentang Leviathan. Bagi Hobbes negara sebagai Leviathan, sejenis monster (mahkluk raksasa) yang ganas, menakutkan dan bengis. Sebenarnya dari konsep ini  negara harus muncul sebagai pihak yang tegas dalam menindak pelanggar hukum dan negara harus menjelma sebagai pihak yang ditakuti dan dihormati oleh rakyatnya. Bila dipasang dalam fenomena korupsi Leviatahan ini bisa diartikan bahwa hukum yang harus ditegakkan. Sayangnya dalam situasi yang demikian sang Leviathan, hukum runtuh-lemah tak berdaya. Leviathan seolah menderita penyakit lemah syawat saat berdapan dengan para koruptor. Ia tidak menunjukan supremasinya untuk menegakan keadilan. Leviathan cendrung memberi kelonggaran dan keringanan pada para koruptor sehingga mengkondisikan para koruptor untuk bebas berkorupsi. Leviathan menjadi pribadi yang berjenis kelamin ganda untuk lebih sopan tidak disebut bencong dihadapan para koruptor. Maka tidak ada cara lain untuk mengekang kecendrungan para pejabat kita ini selain menegakkan dan mengfungsikan hukum secara tepat dan efektif sehingga menimbulkan efek jera pada para koruptor. Hukum yang tidak mudah “masuk angin”. Hukum yang tidak bermain di wilayah “abu-abu”. Hitam katakan hitam. Putih katakan putih. Merah katakan merah apalagi soal bawang merah, tanpa harus “digoreng” kesana-kemari. Kita rehat. Kopinya habis.Dan ternyata siri pinang pun juga habis. Red//

Penulis: Pater Doddy Sasi, CMF. Saat ini sedang melanjutkan Studi di Roma – Italia.

Berita Lainnya

Pendidikan Kader Madya; PDI Perjuangan NTT
22 November 2022
Pendidikan Kader Madya; PDI Perjuangan NTT
Author : Roy Tei Seran Center
Giat ke 4 Malaka Hijau
16 January 2022
Giat ke 4 Malaka Hijau
Author : Roy Tei Seran Center
456, 532, 4.845, 4.313: ANGKA PENTING SELEKSI CASN MALAKA
29 October 2021
456, 532, 4.845, 4.313: ANGKA PENTING SELEKSI CASN MALAKA
Author : Roy Tei Seran Center
Herman Hery Datang; Rina Tei Seran Pergi
18 May 2021
Herman Hery Datang; Rina Tei Seran Pergi
Author : Roy Tei Seran Center
Gagasan Pemikiran PDI Perjuangan NTT; Tata Kelola Pasca Bencana
20 April 2021
Gagasan Pemikiran PDI Perjuangan NTT; Tata Kelola Pasca Bencana
Author : Roy Tei Seran Center
Kongregasi Vokasionis Memanggil: Lomba Artikel dan Puisi
16 March 2021
Kongregasi Vokasionis Memanggil: Lomba Artikel dan Puisi
Author : Roy Tei Seran Center


Tinggalkan Komentar