|
RTS.Center.Com – 10/01/2020 – Kupang – Refleksi – Kok PDI Perjuangan baru berdiri tahun 1999 sudah ulang tahun ke 48? Matematika dari mana? Demikian satu pertanyaan muncul dari nitizen (baca: pengguna media sosial) ketika saya membuat postingan kegiatan PDI Perjuangan dalam rangka merayakan dan mensyukuri HUT ke 48. Benar sekali, sebagai PDI Perjuangan, dideklarasikan pada tahun 1999, namun sejatinya, aslinya, PDI Perjuangan merupakan bagian tak terpisahkan, suatu tarikan nafas dan roh kehidupan dari PDI (Partai Demokrasi Indonesia) yang lahir pada tanggal 10 Januari 1973, sebagai hasil fusi (peleburan) dari lima partai politik, yaitu: Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Katolik (Parkat), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), yang dirikan oleh Tan Malaka. Lima partai ini dipaksa untuk melebur menjadi satu partai atas kebijakan regim Orde Baru Soeharto yang menghendaki adanya penyederhaan partai politik menjadi tiga saja, mewakili golongan agama yaitu PPP, mewakili yang bekerja yaitu Golongan Karya (Golkar) dan mewakili gologan nasionalis yaitu PDI.
Kita membayangkan, bagaimana kaum nasionalis (PNI), kaum agamais (Katolik dan Protestan), kaum sosialis (Murba) dan IPKI yang didirikan oleh sejumlah Jenderal Prunawirawan TNI, disatukan menjadi PDI. Tentu tidak mudah untuk menyatukan terutama mensolidkan lima aliran politik atau lima orientasi politik ke dalam satu wadah politik PDI dengan asas Pancasila. Artinya, meskipun kelimanya menerima Pancasila sebagai asas, tetapi tentu masing-masing dengan ciri dan karakter berbeda. Tetapi, oleh karena kekuatan rezim, dan suatu konsensus untuk kebaikan bangsa, maka kelimanya melebur menjadi PDI, sejak 10 Januari 1973. Diawali pada 9 Maret 1970, kelima partai membentuk Kelompok Demokrasi Pembangunan, yang kemudian dikukuhkan dengan pernyataan bersama pada tanggal 28 oktober 1971. Dan diakhiri dengan puncaknya, 10 Januiari 1973 melalui pernyataan fusi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pada Kongres ke II PDI, 17 januari 1981, kelima partai dalam fusi menyatakan bahwa fusi telah paripurna, dan menyatakan pengakhiran eksistensi masing-masing. Konsekuensinya, dalam PDI tidak lagi mengenal unsur PNI, Parkat, Parkindo, IPKI dan Murba. Lalu, pada tanggal 1 Februari 1999, Di Bali, PDI berubah nama menjadi PDI Perjuangan, dengan asas Pancasila dan bercirikan Kebangsan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial. Inilah PDI yang kemudian dalam sejarah pasang surutnya (tidak pernah menjadi kekuatan politik yang besar saat itu), berganti nama menjadi PDI Perjuangan setelah gonjang-ganjing sejak 1996. Kita tentu ingat peristiwa Kudatuli, 27 Juli 1996 di mana sekretariat PDI di jalan Diponegoro Jakarta, diserbu orang tidak dikenal dan diduga banyak kader PDI menjadi korban. Di tempat itu saat ini, berdiri Kantor Sekretariat DPP PDI Perjuangan, berdampingan dengan Kantor Pusat PPP. Jadi, PDI dan PDI Perjuangan itu adalah satu dan sama. Dengan demikian, maka, usia PDI Perjuangan adalah usia dari PDI, dihitung sejak lahirnya PDI tahun 1973, dan tahun 2021 ini berusia 48 tahun (2021-1973= 48). Akan ada pertanyaan mengapa dari PDI menjadi PDI Perjuangan? Ini akan menjadi satu ulasan tersendiri karena sejarah yang panjang tentang hal ini.
Asas dan Ciri PDI Perjuangan
Pancasila sebagai asas PDI Perjuangan, sepertinya merupakan sesuatu yang “biasa” sebagaimana konsesnsus nasional untuk semua partai menjadikan Pancasila sebagai asas. Karena Pancasila merupakan Dasar Negara, Falsafah dan Sumber Dari Segala Sumber Hukum. Namun, tentu setiap partai memiliki ciri sebagai tanda karakter. PDI Perjuangan memilih tiga ciri yang sangat penting dan mendasar, meliputi Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial. Kebangsaan (baca: nasionalisme) menempatkan prinsip kewarganegaraan (citizenship) dalam perspektif hukum mengenal dua kategori yakni, ius soli atau ius sanguinis atau kombinasi dari keduanya. Ius soli adalah hukum berdasarkan tanah, tentang seseorang lahir dalam yuridiksi teritorial suatu negara memperoleh kewarganegaraan, sedangkan ius sanguinis adalah penentuan kewarganegaraan berdasarkan pertalian darah atau keturunan. Namun, prinsip kewarganegaraan dalam ciri PDI Perjuangan megandung pengertian mengakui persamaan hak dan kewajiban warga negara tanpa kecuali sebagai dasar satu-satunya dalam pengelolaan partai. PDI Perjuangan bersifat terbuka yang menempatkan kemajemukan sebagai kekayaan dan rahmat Tuhan (PDI Perjuangan tidak eksklusif). Kebangsaan artinya PDI Perjuangan menjalankan suatu faham nasionalisme, yakni cinta kepada sesama manusia, kepada tanah Air Sendiri, dan cinta kepada sesama bangsa yang lain. Dengan itu, nasionalisme yang dikembangkan adalah nasionalisme yang tidak chauvinistik, bahwa kitalah satu-satunya dan terbaik, seperti saat Jerman dengan slogan Deutsch Uber Alles. Juga bukan suatu ultranasionalisme yang menjadi fasis, seperti pernah dikembangkan Benito Amilcare Andrea Musollini di Italia (Partai Fasis Nasional), tetapi suatu nasionalisme yang berada dalam taman sarinya internasionalisme; ini lebih sepadan dengan apa yang dikembangkan Mahatma Gandhi, my nasionalism is my humanity (nasionalisme saya adalah humanisme). Tentang hal ini, dalam pemikiran Bung Karno mengenai Marhaenisme disebut dengan sosio-nasionalis. Dalam posisi ini, PDI Perjuangan menempatkan diri dan berjuang sebagai perekat bangsa (NKRI harga mati), menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, menghentikan KKN dan segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan. PDI Perjuangan memandang sesama manusia itu sebagai sama-sama makhluk ciptaan Tuhan bukan dia umat dari suatu agama, suku dari suatu daerah, atau ras dari suatu etnis, tetapi dia adalah sama dengan aku yang sama-sama diciptakan oleh Tuhan.
Ciri Kerakyatan ingin menjadikan PDI Perjuangan sebagai partai yang tetap memiliki roh kerakyatan meskipun diselenggarakan dengan manajemen moderen. Ciri kerakyatan ini menjadi salah satu merek dagang PDI Perjuangan. Dulu, PDI Perjuangan begitu kental dengan branding sebagai partai “wong cilik”. Artinya partai yang dekat dan berjuang bersama rakyat terutama rakyat wong cilik atau rakyat Marhaen. Siapa itu rakyat Marhaen? Mereka adalah buruh, tani, nelayan, dan mereka siapa saja yang masih lemah, tertinggal dan diperlakukan tidak adil oleh suatu sistem yang menindas dan menjajah. Ciri Kerakyatan ini menjadikan PDI Perjuangan sebagai partai yang progresif dan revolusioner. Bahkan ada yang salah menduga bahwa PDI Perjuangan itu sebagai partai kiri dan sosialis, bahkan kesalahan besar, orang menilai PDI Perjuangan menganut paham komunisme. PDI Perjuangan itu nasionalis kerakyatan!
Ciri Keadilan Sosial menunjukkan bahwa puncak dari segala perjuangan politik Partai adalah mewujudkan Keadilan Sosial (bagi seluruh rakyat Indonesia), sebagaimana ajaran Bung Karno, bahwa demokrasi yang ingin kita bangun adalah demokrasi politik dus demokrasi ekonomi. Cita-cita Keadilan Sosial ini secara gampang kita sebut dengan cita-cita mewujudkan masyarakat Pancasilais. Kalau kita mau sedikit berlelah maka cita-cita Keadilan Sosial adalah merupakan suatu cita-cita mewujudkan Sosialisme Indonesia, suatu masyarakat yang sudah setara, semuanya sejahtera, semua bahagia, semuanya adil, saling menghormati, hidup toleran, tanpa perbedaan kelas dan tanpa penindasan satu atas yang lain. Cita-cita keadilan sosial atau sosialisme Indonesia itu semacam suatu idealismeatau analogi kehidupan “Surgawi”. Kita mungkin tak akan pernah mencapai Surga, tetapi kita begitu keras berjuang untuk mencapainya. Demikian halnya dengan Keadilan Sosial, kita mungkin tak akan mencapainya dengan sempurna tetapi kita lagi-lagi begitu keras memperjuangkannya.
Membangun Mental
Dalam terus menjejak semangat perjuangan mencapai keadilan sosial, organisasi inheren, PDI Perjuangan merupakan alat efektif untuk itu. PDI Perjuangan akan terus hidup dan berkembang terutama sekali adalah nafasnya, rohnya yang akan terus mengalir dalam darah. Secara organisatoris (atau alat), diperlukan kesadaran kolektif untuk mempertahankan aspek solidaritas dan subsidiaritas. Solidaritas mensyaratkan perlunya kesanggupan berbagi hidup kepada sesama terutama yang lemah, membangun kebaikan bersama (common good), dan selalu menjadikan mereka yang lemah dan tersisih sebagai bagian utama dari pertimbangan organisasi. Prinsip subsidiaritas mensyaratkan adanya partisipasi dari bawah (bottom up), pembagian kerja sekaligus pemberian kepercayaan dan kepemimpinan efektif dengan suatu otoritas yang berwibawa.
Mental organisasi yang mesti dibangun meliputi sadar dan sanggup mengejar visi misi organisasi (bukan visi misi pribadi), paham akan garis komando dan konsultasi, tahu kepada siapa bertanggung jawab, tahu kapan taat dan kapan melakukan konsultasi, memiliki ketrampilan menempatkan posisi dalam organisasi, proaktif dan memiliki kerendahan hati, baik karena memimpin maupun karena dipimpin. Terhadap upaya besar pemberantasan korupsi, seorang Tokoh Indonesia, IJ Kasimo (mantan Ketua Partai Katolik), menelurkan ajaran bernas (dalam bahasa Jawa): sepi ing pamrih, rame ing gawe, yang mengandung pengertian pengabdian tulus ikhlas tanpa pamrih. Seperti tradisi hidup: kaya tanpa harta, sakti tanpa azimat, menyerbu tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan yang dikalahkan (sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurung tanpa bala, menang tanpa ngasorake).
Membangun mental sejalan dengan maksud membangun karakter dimana dalam keadaan sekarang, Jokowi melantunkan gema revolusi mental: perubahaan cara pikir, cara tindak dan cara hidup. Hal ini menjadi penting untuk terus menjadikan PDI Perjuangan sebagai partai wong cilik, partai Marhaen, partai nasionalis, partai kerakyatan, partai Pancasilais. Semuanya akan bisa dicapai melalui suatu sistem kaderisasi yang tertata bagus, berjenjang dan terus menerus. Harus melalui upaya dan tindakan, tidak melalui mimpi (walaupun kita boleh bahkan harus bermimpi). Seorang Helen Keller, perempuan tuna rungu dan tuna netra yang menaklukkan dunia dengan meraih Academy Award, penghargaan puncak untuk dunia perfilman Amerika bahkan dunia, mengatakan: jauh lebih baik berlayar selamanya di malam kebutaan, tetapi mempunyai perasaan dan pikiran, daripada hanya berpuas diri dengan kemampuan untuk melihat semata. Ini selaras dengan upaya menjadikan PDI Perjuangan sebagai partai Pelopor, partai yang bergerak dan berjuang dalam setiap nafas kehidupan rakyat. Helen juga mengatakan: character cannot be developed in easy and quite. Only throught experience of trial and suffering can the soul be strengthened ambition insipired and success achieved (bahwa karakter tidak dapat dibangun dengan mudah dan cepat. Hanya melalui pengalaman, ujian, penderitaan, akan membentuk jiwa seseorang dan memperkuat ambisi dan inspirasi mencapai kesuksesan). Hal ini harus terus diasah apalagi bangsa menghadapi tantangan tidak ringan dengan adanya pandemi covid 19. Suatu kegotongroyongan akan melahirkan gerakan bersama yang kuat dan sukses melalui kepemimpinan yang tangguh dalam bersama mencari jalan keluar.
Dalam HUT kali ini, PDI Perjuangan mengambil tema Indonesia Berkepribadian Dalam Kebudayaan, menjadi kata kunci pembangunan mental-karakter. Basis kegiatan utama masih dengan Gerakan Cinta Bumi dengan kegiatan penghijauan (menanam) dan perawatan Daerah Aliran Sungai. Indonesia dan dunia ada dalam krisis pemanasan global, kerusakan lingkungan ada pada tingkat memprihatinkan. Ini butuh tindakan dan aksi nyata. Ada lagu Iwan Fals, Hutanku : hutan ditebang kering kerontang, hutan ditebang, banjir datang, hutan ditebang penyakit meradang, hutanku-hutanku hilang anak negeri bernasib malang, hutan-hutanku hilang bangsa ini tenggelam. Jangan sampai ini terjadi dan mari mulai mengatasi ini. Seorang Slamet Widodo, menulis puisi tentang Hutanku Meratap: Dahulu di sini orang hutan bermain riang, makan buah dan pucuk pepohonan, meloncat dari dahan ke dahan… sekarang ini, sekrang di sini, taka ada lagi hutan apalagi rimba, takada orang Dayak dan budayanya, taka ada orang hutan kecuali ceritera, yang ada tinggal sampah sejarah, sekarang di sini jutaan hektar tanah gersang, tinggal sisa-sisa akar pohon dan lobang besar genangan air asam…..
PDI Perjuanga ambil sikap, segera bertindak, segera berjuang. Bung Karno begitu kuat mendorong Indonesia menjadi bangsa yang bermental baja. Mengapa warna bendera kita merah putih? Pada 22 Juli 1958 di Istana Negara Jakarta, Bung Karno berpidato: “ merah putih sebagai dasar negara kita bukan saja sebagai lambang keberanian, putih lambang kesucian, … beribu – ribu tahun yang lalu, takkala kita masih mengagung-agungkan matahari dan bulan, surya dan chandra, matahari kita melambangkan warna merah, bulan kita lambangkan dengan warna putih… Sejak zaman dahulu kita telah memuliakan warna merah dan putih, meskipun belum berbentuk bendera”. Inilah yang seharusnya menjadi karakter Indonesia, berani dalam kesucian niat dan bathin. Kita ambil contoh soal vaksinasi covid 19. Belum ada vaksin, minta presiden cepat adakan vaksin. Presiden datangkan vaksin, minta presiden vaksin duluan. Saat presiden siap menjadi orang pertama divaksin, kita minta harus siaran langsung. Saat presiden siap siaran langsung, orang minta tunda vaksinasi dulu sampai keluar EUA (Emergency Use Authorizy) dai BPOM dulu. Ini mental apa? Ini mau apa? Bagaimana dalam pandemi, suatu keadaan genting, emergensi satu dunia, kok masih ada orang bermain kepentingan politik kekuasaan? Celakahlah kalau besok-besok bangsa Indonesia dipimpin orang dengan mental seperti ini. Dengan demikian, kita perlu memperkuat PDI Perjuangan sebagai partai pelopor: pelopor dalam Kebangsan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial. Rakyat hendaknya bersama PDI Perjuangan di atas fondasi Pancasila untuk terus bergotong royong untuk menuju keadilan sosial. Dirgahayu PDI Perjuangan yang ke-48, hiduplah sepanjang Indonesia hidup. Merdeka !!! red//
Penulis: Emanuel Kolfidus
Anggota DPRD NTT-Fraksi PDI Perjuangan
|
|
|
29 October 2021
456, 532, 4.845, 4.313: ANGKA PENTING SELEKSI CASN MALAKA Author : Roy Tei Seran Center |
|
|
20 April 2021
Gagasan Pemikiran PDI Perjuangan NTT; Tata Kelola Pasca Bencana Author : Roy Tei Seran Center |
|
16 March 2021
Kongregasi Vokasionis Memanggil: Lomba Artikel dan Puisi Author : Roy Tei Seran Center |