![]() |
RTS/ Center.Com – 22 – 04 – 2020 – Sri Lanka – Opini – Tulisan ini merupakan refleksi kritis penulis yang terinspirasi dari tulisan Herman Seran (2020), dengan judul “Karantina Geografis Covid – 19 untuk NTT”, yang bisa diakses pada link; https://www.kompasiana.com/herman91793/).
Pada mulanya, sebelum Covid 19 menyebar merata di seluruh Indonesia, dalam tulisan itu, Herman Seran dengan sangat jitu mengusulkan agar pemerintah daerah perlu mempertimbangkan adanya karantina geografis, untuk mencegah penyebaran virus corona. Dari tulisan tersebut, terbaca bahwa yang berhasil melakukannya terlbih dahulu ialah Provinsi Papua, sedangkan provinsi lain di seluruh Indonesia, mengikuti petunjuk Pemerintah pusat: “Tidak boleh ada karantina”. Penulis beranggapan bahwa dengan ketiadaan kebijakan karantina telah menyebabkan penyebaran virus corona ke seluruh Indonesia hari-hari ini. Jika penulis mencoba mengingat kembali dasar Negara Kesatua Republik Indonesia (NKRI), Pancasila, penyebaran Covid 19 ke seluruh Indonesia seolah mengaktualisasikan sila ke-5 Pancasila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk penyakit yang disebabkan Covid 19, aktualisasi sila ke-5 Pancasila lebih terasa dan signifikan.
Penulis sengaja meberi judul tulisan ini; “Isolasi Terpusat sebagai Solusi Pencegahan Covid-19 di Provinsi Kepulauan NTT”, dengan penekanan secara khusus pada “Provinsi kepulauan NTT”, hanya demi refleksi ini semata, karena secara de-jure, tidak ada kata “Kepulauan”, dan yang ada hanya Provinsi NT, namun secara de facto, provinsi NTT terdiri dari pulau-pulau, bahkan berates-ratus pulau banyaknya. Dalam pengertian faktuallah judul itu dipakai, untuk menegaskan makasu penulis menjelaskan betapa pentingnya Karantina Terpusat.
Dengan tersebarnya Covid 19 ke seluruh wilayah Indonesia, terutama bisa memasuki Provinsi NTT, hemat penulis, salah satu faktor utamanya ialah karantina geografis yang tidak diterima oleh pemerintah daerah Provinsi NTT. Dalam kacamata penulis, dan berdasarkan pendapat beberapa ahli di beberapa Universitas terkemuka di Indonesia seperti Universitas Indonesia (UI), maupun oleh Herman Seran dalam tulisannya, hal ini dikarenakan ekspektasi pemerintah secara nasional dalam pandemi covid-19 adalah menyelamatkan ekonomi sekaligus menyelematkan nyawa masyarakat.
Penegasannya dapat kita temukan bersama pada dua aturan terbaru yang diterbitkan Pemerintah, pada awal Maret lalu, selama masa pandemi covid-19 menyeruak di hseluruh wilayah Indonesia. Mari kita lihat bersama.
Pertama adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara selama Pandemi covid-19, yang dikeluarkan pada 31 Maret 2020. Undang-undang ini menginstruksikan Negara agar mengalokasikan dana sebanyak 405 triliun rupiah dalam upaya menangani pandemic Covid 19. Dari total keseluruhan 405 Triliuun tersebut, sebanyak 150 triliun rupiah dialokasikan untuk perbaikan sistem ekonomi Negara.
Kedua, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020, tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Logika yang melatarbelakangi PSBB ini terdapat dalam pasal 3. Dikatakan bahwa, PSBB hanya akan dijalankan apabila, “jumlah kasus dan/atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah”. Dari sini kelihatan jelas bahwa jumlah kasus dan kematian pasien covid-19 belum menyebar secara signifikan dan cepat, sehingga pemerintah masih mentolerir aktivitas masyarakat di luar rumah, di mana nampak jelas terlihat aktivitas semisal; Pasar yang masih bisa beroperasi, ojek (konvensional dan berbasis aplikasi) maupun bus antar kota.
Tulisan singkat ini bermaksud memberi solusi kepada pemerintah daerah provinsi NTT agar bisa menggapai ekspektasi nasional tersebut. Untuk itu, bukan karantina geografis yang diusulkan kepada Pemerintah Pusat, melainkan “Isolasi terpusat”. Jika dalam tulisan Herman Seran, objek isolasinya adalah wilayah, maka dalam isolasi terpusat, objek isolasinya adalah pelaku perjalanan.
Penulis hendak mengatakan bahwa dengan isolasi terpusat, terjadi periode penguncian untuk mencegah penyebaran Covid-19, dengan objek yang diisolasi adalah pelaku perjalanan antar pulau atau antar daerah. Untuk konteks NTT, hal ini menjadi mungkin, karena NTT merupakan provinsi kepulauan, dan kasus pasien pengidap Covid-19 baru ditemukan di Kota Kupang. Covid 19 belum menyebar ke daerah lain atau pulau lain di NTT. Secara alamiah, NTT mempunyi keuntungan geografis, senada dengan yang disampaikan oleh Herman Seran: “NTT memiliki geograpical barriers (batasan geografis)”, sebagai hambatan alamiah untuk membendung penyebaran Covid-19. Keuntungan ini harus dioptimalkan.
Isolasi terpusat menjadi hal yang masih mungkin dilakukan oleh pemerintah daerah untuk menyelamatkan kabupaten kepulauan seperti Sabu, Rote, Alor, Lembata, dan masyarakat pulau seperti Semau, Komodo, Pulau Ende, Solor, Adonara dan seterusnya. Sedangkan untuk kabupaten-kabupaten yang terdapat di dalam satu pulau seperti: Sumba, Flores, dan Timor Barat, bisa saling meningkatkan koordinasi dan kerjasama antar Bupatinya.
Hemat penulis, secara teknis setiap bupati dapat bisa menyediakan bus di bandara atau pelabuhan, baik di Kupang sebagai pusat Pemerintahan dan tempat keberadaan Bandara Eltari, sehingga penumpang yang datang, dapat langsung dijemput dan diisolasi di tempat yang disediakan, ataupun teknisnya seperti apa, itu menjadi tanggung jawab para bupati. Pemda, baik Provinsi dan Kabupaten juga bisa lebih mengoptimalkan struktur pemerintahan yang ada hingga ke desa-desa.
Sesuai dengan surat edaran Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi, Nomor 8 Tahun 2020, dana desa bisa dialokasikan untuk penanganan pandemi Covid-19, sehingga tidak sukar melakukan isolasi terpusat bahkan sampai di tingkat desa. Isolasi terpusat menjadi mungkin dan rasional karena hanya ditujukan kepada orang yang melakukan perjalanan antar pulau atau dari daerah zona merah Covid-19, dan bukan mengisolasi semua orang dalam satu wilayah.
Isolasi terpusat dapat diartikan sebagai skenario lain dari pada isolasi mandiri yang lebih berisiko menyebar Covid 19 kepada anggota keluarga. Isolasi mandiri sejatinya tidak optimal karena hari-hari ini terus terjadi peningkatan pasien Covid-19 di daerah lain. Lagi-lagi, penulis menyarankan agar Pemda Provinsi NTT tidak saja melaksanakan isolasi mandiri, tetapi juga tindakan lebih, yaitu isolasi terpusat bagi pelaku perjalanan. Tujuannya agar pelaku perjalanan tidak mengkontaminasi orang yang tidak melakukan perjalanan.
Isolasi terpusat ini pun untuk menyelamatkan masyarakat yang tidak bisa bekerja dari rumah seperti penjual sayur, penjual ikan, ojek, dan sopir. Kerja dari rumah hanya berlaku bagi pegawai negeri atau swasta dan anak sekolah. Untuk menyelamatkan kehidupan pencari nafkah di jalanan ini, isolasi terpusat pelaku perjalanan akan tepat diterapkan.
Untuk melaksanakan isolasi terpusat ini, pemerintah harus menyediakan lokasi isolasi dan kemudian diikuti dengan siaga di setiap titik kedatangan seperti bandara dan pelabuhan. Semua penumpang yang turun dari pesawat atau kapal, langsung diarahkan ke tempat isolasi terpusat yang telah disediakan tanpa kecuali. Dengan isolasi terpusat, maka penanganan masih bisa dikontrol. Tenaga medis dan alat keamanan negara (polisi atau tentara) juga perlu disiagakan di sana. Sedangkan dana yang dialokasikan untuk penanganan covid-19 akan lebih mudah diatur penggunaannya, selain untuk pengobatan, tetapi juga untuk makan dan minum orang yang diisolasi selama 14 hari.
Skenario isolasi terpusat ini hanya mungkin bila kita semua sepakat bahwa, pelaku perjalanan adalah orang yang sangat berpotensi terpapar Covid 19, dan menjadi ‘karier’, karena di dalam tubuhnya sudah bersemayam Covid 19, apalagi mereka yang datang dari daerah yang dikategorikan zona merah, seperti Jakarta, Surabaya, dan sebagainya. Asumsi yang agak kasar, namun untuk menyelamatkan banyak orang dan memenuhi ekspektasi pemerintah pusat, asumsi ini dapat diterima. Untuk itu, jika Pemda Provinsi NTT ingin berada satu track dengan pemerintah pusat, isolasi terpusat pelaku perjalanan dapat dipertimbangkan dengan keunggulan geograpical barriers yang dimiliki “provinsi kepulauan NTT” secara alamiah. Red//
Referensi
Herman Seran, 2020. Karantina Geografis Covid-19 Untuk NTT. Tersedia di <https://www.kompasiana.com/herman91793/>, akses 19 april 2020.
Surat edaran Kemendes PDTT Nomor 8 tahun 2020 tentang Desa, tersedia dihttps://www.desapedia.id, di unduh, 20.4.2020
Perppu No 1 tahun 2020, tersedia di <https://peraturan.bpk.go.id> , di akses 5 April 2020
Peraturan Pemerintah No 21 tahun 2020, tersedia di <https://peraturan.bpk.go.id> di unduh 5 April 2020
Penulis: Yakobus Fahik (Mahasiswa Pascasarjana Master Of Human Rigthts and Democratization) – APMA program (Asia Pasific Master of Arts programme), Tinggal di Sri Lanka.
![]() |
![]() |
![]() |
29 October 2021
456, 532, 4.845, 4.313: ANGKA PENTING SELEKSI CASN MALAKA Author : Roy Tei Seran Center |
![]() |
![]() |
20 April 2021
Gagasan Pemikiran PDI Perjuangan NTT; Tata Kelola Pasca Bencana Author : Roy Tei Seran Center |
![]() |
16 March 2021
Kongregasi Vokasionis Memanggil: Lomba Artikel dan Puisi Author : Roy Tei Seran Center |