|
RTS.Center.Com – 23/04/2020 – Jakarta – Opini – Berdasarkan pantauan penulis atas pemberitaan di berbagai media, terutama berkaitan dengan berbagai jenis bantuan sosial yang saat ini sedang gencar dijalankan oleh pihak Pemerintah kepada masyarakat, penulis hendak memberikan beberapa catatan, terutama di masa Pandemi Covid 19 hari-hari ini.
Akhir-Akhir ini muncul berbagai diskusi di tengah Publik terkait bertebar luasnya berbagai informasi tentang tidak validnnya Data Penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT), untuk Masyarakat Miskin atau kurang mampu yang Terdampak Covid19.
Diskusi dan informasi ini semakin liar dan memprihatinkan, karena yang menyampaikan hal ini adalah Kepala Daerah, yang kemudian diamini oleh para Legislator. Penulis sengaja tidak menuliskan secara gamblang Kepala Derah dimaksud, sembari berharap menjadi bahan refleksi bagi Kepala Daerah yang lainnya, agar jangan sampai melakukan hal yang sama.
Atas kondisi kesimpang-siuran data penerima BLT tersebut, sebagai bagian dari masyarakat, kita patut memberikan catatan Keprihatinan dengan Warna Tinta Hitam Pekat, sebagai simbol matinya nurani. Mengapa?
Penulis berani mengatakan bahwa telah terjadi kematian Nurani, karena semua kita tahu bahwa dalam suatu Proses Pilkada maupun Pileg, terutama yang belum lama ini usai, setiap calon atau kontestan yang tampil dalam proses Pilkada dan Pileg, untuk memenangkan kontestasi, pasti melakukan desain dengan berbagai model skenario pemenangan.
Simulasi dimaksud tentu berbasis pada data pemilih, yang meliputi; wilayah sebaran, kelompok umur, suku, agama, latar belakang sosial ekonomi dan politik. Salah satu target pemilih potensial adalah warga masyarakat Kurang Mampu, sebagai floating Mass (massa mengambang), dan mereka inilah yang ditargetkan menjadi lumbung suara bagi para kontestan.
Lantas, mengapa di saat-saat seperti ini, pemerintah, dalam hal ini Kepala Daerah dan Legislatif terasa gagap dalam menyikapi hal ini? Menurut catatan penulis, ada beberapa asumsi yang melatarbelakangi kegagapan pemerintah, yakni; pertama, Kepala Daerah hanya berasumsi bahwa Pilkada dan Pileg adalah Ritual Lima Tahunan dan diibaratkan seperti sebuah konser amal. Karena bersifat ritual dan hanya sebatas konser atau hura-hura, hubungan antara kontestan terpilih dan konstituen yang memilih hanya mengakomodir ritual kepentingan sesat, tanpa memperhitungkan konsekwensi dari berbagai aspek yang mengikutinya, baik moral, sosial budaya maupun politik.
Kedua, data warga masyarakat yang Kurang Mampu, yang menjadi target penerima bantuan, adalah data sistim birokrasi hasil kerja lintas sektoral yang harus diterima dan direalisasikan, tanpa harus melakukan analisa, verifikasi dan atau validasi ulang atas kebenaran data dimaksud, apalagi harus mencocokkannya dengan data pemilih saat kontestasi politik. Siapa yang memilih Kepala Daerah Terpilih, siapa yang memilih Legislator Terpilih sajalah yang diprioritaskan mendapatkan bantuan. Dengan demikian ada semacam pengkotakan yang dilakukan sendiri oleh seorang Pemimpin, terhadap masyarakat yang dipimpinnya.
Ketiga, program Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat yang kurang mampu, adalah program sosial yang berpontensi/berorientasi ekonomi, bukan berpotensi/berorientasi investasi sosial dan politik.
Berdasarlan
ketiga asumsi di atas, hemat penulis, sekaligus harusnya menjadi catatan
penting bagi Para Pemimpin (Eksekutif dan Legislatif), dan terutama bagi
masyarakat pada umunya, hendaknya dalam situasi pendemi Covid19 dan dalam
rangka menghadapi Proses Pilkada akhir 2020 nanti, perlu dikampanyekan bersama pentingnya
membangun kesadaran bersama masyarakat, bahwa hubungan antara kontestan yang
dipilih dan konstituennya adalah hubungan yang sakral. Bukan malah sebaliknya,
hubungan antara kontituen dan kontestan hanya sebatas ritual politik belaka
atau konser amal.
Dengan demikian, ketika hubungan yang sakral tersebut diinternalisasikan oleh baik pemimpin, maupun masyarakat, cita-cita bernegara dan berdemokrasi dapat tiba pada titik ultim. Masyarakat tidak hanya sekadar menjadi objek politik, tapi masyarakat menjadi subjek politik. Turunannya ialah kebijakan-kebijakan politik yang diputuskan oleh kontestan terpilih, baik Eksekutif maupun legislatif, harusnya senantiasa menempatkan konstituennya sebagai dasar pertimbangan dan kebijakannya harus pro terhadap konstituen, tanpa ada lagi upaya pengkotak-kotakan secara terselubung. Terutama dalam urusan BANTUAN. Harap menjadi periksa. Red//
Settu Albertus, Tokoh Senior/Sesepuh Belu, Malaka, TTU, NTT Diaspora Jakarta.
Wakil Ketua KNPI DKI Jakarta, masa bhakti 1991-1994.
Sekjen Gerakan Mahasiswa Kosgoro, masa bhakti 1989-1993
Pengurus DPP AMPI, masa bhakti 1993-1998
|
|
|
29 October 2021
456, 532, 4.845, 4.313: ANGKA PENTING SELEKSI CASN MALAKA Author : Roy Tei Seran Center |
|
|
20 April 2021
Gagasan Pemikiran PDI Perjuangan NTT; Tata Kelola Pasca Bencana Author : Roy Tei Seran Center |
|
16 March 2021
Kongregasi Vokasionis Memanggil: Lomba Artikel dan Puisi Author : Roy Tei Seran Center |