SHARE :

Corona Dunia dan “Korupsi Malaka”

Terbit : 9 March 2020 / Kategori : Korupsi / Malaka / Opini / Politik / RTS Center / Komentar : 0 komentar / Author : Roy Tei Seran Center
Corona Dunia dan “Korupsi Malaka”

RTS.Center.Com – 09/03/2020 – Italia – Opini – Hampir dua bulan terakhir ini, dunia menjadi hangat dengan rasa cemas, takut dan kuatir akan virus corona. Sedangkan beberapa hari terakhir di salah satu sudut belahan dunia ini, tepatnya di tempat asal dan lahir saya, Malaka, sebuah Kabupaten muda, bisa disebut Kabupaten bungsu di NTT, tidak saja hangat tapi memanas dengan sebuah virus yang sudah tidak asing bagi kita, sebut saja virus korupsi. Menurut beberapa media, katanya sudah ada tiga orang yang “ditahan”. Yang paling menyedihkan ternyata yang dikorupsi adalah dana program “bawang merah”. Saya langsung teringat sebuah film ketika masih remaja belia berjudul: bawang merah dan bawang putih. Bisa-bisa saja setelah yang merah, muncul yang putih atau muncul yang abu-abu atau bahkan yang hitam.

Problematika ini memantik naluri berpikir saya. Saya teringat kata-kata Karl Popper: “Kita membutuhkan kebebasan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan negara dan kita membutuhkan negara untuk menghindari penyalahgunaan kebebasan”. Ada relasi yang bersifat resiprokal disini. Kebebasan dan kekuasaan. Kekuasaan dan kebebasan. Saya menterjemahkan kebebasan disini dalam rana kebebasan berpikir. Immanuel Kant pernah memunculkan sebuah slogan sebagai motto kaum ilumenisme: “sapere aude” (beranilah berpikir). Untuk sesuatu yang buruk, busuk dan jahat kita harus berani berpikir. Sebab berpikir itu tidak dilarang.

Dan ketukan keberanian berpikir yang pertama, kita lihat sejenak tentang Virus Corona. Virus corona (coronavirus) yang mulanya ditemukan di Wuhan, China kini tengah menuai perhatian dunia. Virus ini menjadi topik terhangat sejak dua pekan terakhir Januari 2020. Bahkan hampir setiap liputan media online dan elektronik beberapa hari terakhir ini selalu diisi dengan “teror” virus ini. Virus corona mendadak menjadi teror mengerikan bagi masyarakat dunia, terutama setelah merenggut ribuan  nyawa manusia hanya dalam satu bulanan. Katanya infeksi virus corona ini ditandai oleh gejala yang awalnya tampak seperti gejala flu pada umumnya: demam, hidung tersumbat, batuk, sakit tenggorokan dan tentu ada beberapa gejala tambahan lainnya. Dan satu hal yang paling mengkhawatirkan adalah virus ini terus mencari mangsa, sementara kepastian obatnya hingga saat ini belum ditemukan, meski sebagian besar penderitanya sudah bisa disembuhkan.

Ketukan keberanian berpikir yang kedua soal virus “korupsi”. Kita bergerak dari arti etimelogisnya.  Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, dan menyogok. Kata ini kemudian menurunkan anak istilah corruzione (Italia), corruption, corrups (Inggris), corruption (Perancis), corruptie, korruptie (Belanda), dan juga korupsi (Indonesia). Dalam artian yang lebih luas, misalnya dalam ilmu politik, korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan dan administrasi, ekonomi atau politik, baik yang disebabkan oleh diri sendiri maupun orang lain, yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan pribadi, sehingga menimbulkan kerugian bagi kesejahteraan masyarakat umum. Beberapa pemikir pun sempat melontarkan ide mereka tentang virus koruspsi ini. Misalkan Lord Acton mengatakan: power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Korupsi itu muncul bilamana terjadi penyalagunaan kekuasaaan, terlebih bila kekuasaan bersifat absolut atau mutlak maka korupsi akan menjadi-jadi. Dengan lain kata, virus korupsi ini juga menjadi virus yang mematikan hak banyak orang. Virus yang harus dibasmi. Sebab se-canggih dan sangat sistematis atau secantik seperti apapun  permainannya virus korupsi ini “in se” adalah jahat, busuk dan buruk.

Kita tiba pada ketukan terakhir yakni soal virus korupsi di Malaka. Membaca headline beberapa media online akan ditahannya tiga orang yang di duga terlibat dalam permainan cantik “tiki-taka” korupsi bawang merah, tidak membuat saya terkejut. Sebab sudah bisa terbaca bahwa sangat rentan bagi sebuah daerah yang baru (masih seumur balita) untuk terperangkap dan terjangkit dalam jejaringan virus korupsi ini. Ketiga “saudara” kita yang ditahan ini bisa menjadi akhir atau bahkan menjadi awal untuk masuk dan membasmi virus ini sampai ke akar-akarnya. Mereka yang merasa ikut bermain bisa saja juga sudah mulai merasa gejala sebagaimana orang yang terkena virus corona: demam, batuk, hidung tersumbat, sakit tenggorakan atau gejala phobia virus corona lainnya.

Tulisan sepotong ini tidak bermaksud mem-bully atau  menjelekan mereka yang sudah ada di tempat “pesakitan” tapi memancing naluri berpikir kita untuk lebih berpikir waras dan cerdas akan apa yang sudah terjadi. Saling menjelekan, menyudutkan bahkan sampai “memaki-maki” di media sosial tentu saja bukanlah tindakan generasi milenial seperti kita yang etis, dewasa, cerdas dan waras. Karena itu dalam konteks ini, saya teringat akan seorang pemikir Prancis abad-19 bernama Rousseau yang mana menurutnya kehidupan politik dan sosial menjadi awal timbulnya korupsi. Bukan korupsi dari manusia yang mengahancurkan suatu sistem politik. Tetapi sistem politiklah yang menimbulkan korupsi dan merusakan manusia. Atau Montesquieu yang mengatakan bahwa: korupsi sebagai suatu proses disfungsional par excellence, dimana suatu sistem politik berubah menjadi sistem politik yang buruk. Bagi saya, kita bisa menarik keluar dua hal disini. Pertama, soal pentingnya edukasi politik bagi warga Malaka.

Edukasi politik harus terus-menerus dan berkelanjutan. Bukan edukasi politik yang baru ada setahun atau beberapa bulan sebelum Pilkada atau Pileg. Edukasi politik harus menjadi semacam “ongoing formation” bagi orang Malaka. Kedua, mempertajam fungsi legislatif. Legislatif boleh saja berkawan akrab, mesra atau bahkan intim dengan eksekutif tapi harus bisa juga dibarengi dengan sikap kritis yang tajam. Legislatif tidak harus menjadi “penjilat” dasi atau jas eksekutif tapi harus bisa menjadi “anjing” yang selalu mengonggong kebijakan-kebijakan irasional eksekutif. Mentalitas “ABS” (asal Bapak Senang atau asal Bos senang) harus segera dibuang karena bukan zamannya lagi kita memelihara tipe mentalitas seperti itu. Sekali lagi korupsi adalah virus mematikan. Korupsi adalah akar kemiskinan. Jadi seandainya saja kita dapat mengakhiri sikap dan tindakan korupsi berarti mengakhiri terjadinya kemiskinan.

Akhirnya saya menutup tulisan ini dengan kata-kata dari Curt Cobain: “The Duty of youth is to challenge corruption” (Tugas orang muda adalah melawan tindakan korupsi). Red//

Penulis: Pater Doddy Sasi, Cmf, Biarawan – Sedang melanjutkan studi di Roma – Italia.

Berita Lainnya

Pendidikan Kader Madya; PDI Perjuangan NTT
22 November 2022
Pendidikan Kader Madya; PDI Perjuangan NTT
Author : Roy Tei Seran Center
Giat ke 4 Malaka Hijau
16 January 2022
Giat ke 4 Malaka Hijau
Author : Roy Tei Seran Center
456, 532, 4.845, 4.313: ANGKA PENTING SELEKSI CASN MALAKA
29 October 2021
456, 532, 4.845, 4.313: ANGKA PENTING SELEKSI CASN MALAKA
Author : Roy Tei Seran Center
Herman Hery Datang; Rina Tei Seran Pergi
18 May 2021
Herman Hery Datang; Rina Tei Seran Pergi
Author : Roy Tei Seran Center
Gagasan Pemikiran PDI Perjuangan NTT; Tata Kelola Pasca Bencana
20 April 2021
Gagasan Pemikiran PDI Perjuangan NTT; Tata Kelola Pasca Bencana
Author : Roy Tei Seran Center
Kongregasi Vokasionis Memanggil: Lomba Artikel dan Puisi
16 March 2021
Kongregasi Vokasionis Memanggil: Lomba Artikel dan Puisi
Author : Roy Tei Seran Center


Tinggalkan Komentar